Untuk beberapa dekade, CEO Jay Thiessens menyembunyikan sebuah rahasia menyakitkan, sementara ia membangun perusahaan mesin dan peralatan. Perusahaan tersebut telah berkembang dari bisnis rumahan hingga menjadi konglomerasi yang menghasilkan 5 juta dolar setahun. Dalam hari-harinya yang sibuk, ia bersembunyi dibalik peran businessman, terlalu sibuk untuk me-review kontrak ataupun memeriksa e-mail. Pada malam hari, istrinya, Bonnie, membantunya menyortir berkas-berkas pekerjaan di meja dapur, di ruang tengah, atau kadang sambil duduk di spring bed King Koil mereka. Tugas-tugas lainnya didelegasikan kepada sekelompok manajer di perusahaannya, B&J Machine Tool Co., yang tak habis pikir mengapa bos mereka “tidak bisa” membaca.

“Saya bekerja untuknya selama tujuh tahun dan tak pernah bisa mengerti,” kata Jack Sala, yang kini bekerja sebagai manajer teknik di Truckee Precision, kompetitor B&J. “Saya dulu general manager-nya. Ia akan membawa banyak urusan legal kepada saya dan berkata, ‘Pengetahuan legal-mu lebih baik dari saya’. Saya tak pernah tahu bahwa saya adalah satu-satunya yang membaca berkas legal tersebut.”

Hanya sedikit orang yang mengetahui rahasia sang CEO dan keinginan terbesarnya: Membacakan dongeng pengantar tidur sederhana untuk cucu-cucunya. Namun ia tak dapat menyembunyikan kenyataan bahwa ia buta huruf selamanya. “Menyembunyikannya menjadi sesuatu yang makin sulit dari waktu ke waktu,” kata Thiessens yang mulai belajar membaca pada usia 56. “Ketika saya memutuskan untuk membiarkan orang lain mengetahuinya, saya merasa sangat lega. Sepertinya balon besar yang menghimpit dada saya akhirnya kempis.”

Pada tahun 1999, Thiessens mendapatkan gelar kehormatan di Washington D.C. sebagai salah satu juara nasional 1999 National Blue Chip Enterprise Initiative Award. Penghargaan yang disponsori oleh U.S. Chamber of Commerce dan MassMutual ini dianugerahkan kepada usaha-usaha kecil yang telah berhasil menaklukkan persaingan.

Baca juga  Transform Your Manufacturing Process with Lean Six Sigma

Siksaan yang dirasakan Thiessens bermula pada kelas pertama atau keduanya di McGill, sebuah kota pertambangan kecil di Nevada tengah. “Seorang guru memanggil saya dan mengatakan saya bodoh karena kesulitan membaca”, katanya. Selama masa sekolah, ia adalah seorang anak pendiam dan lebih suka menyendiri di sudut ruangan.

“Saya pikir guru-guru saya bosan dengan kekurangan saya, maka mereka mengabaikan saya,” katanya. Thiessens lulus dari White Pine High School di Ely pada 1963, dengan banyak nilai C, D, dan F. Ia mendapatkan nilai tertinggi hanya pada satu saat, yaitu pada tahun seniornya ketika berhasil mendapatkan beberapa nilai A untuk auto-mechanic dan machine shop.

Sehari setelah kelulusan, Thiessens pindah ke Reno, dimana 10 tahun kemudian ia memulai bisnis permesinan kecil dengan sisa uangnya yang berjumlah 200 dolar. Saat ini, B&J memiliki spesialisasi di pengelasan, suku cadang mesin dan segala pekerjaan yang berkaitan dengan lembaran metal. Dengan 50 karyawan, perusahaan tersebut menghasilkan 5 juta dolar setahun, dan baru saja mengadakan perluasan pabrik sebesar 54.000 m2.

Walaupun sudah bisa dibilang sukses, trauma dicap sebagai orang bodoh menghantuinya hingga dewasa. Karena kekurangannya tersebut, ia mengembangkan keahlian lainnya yaitu menjadi pendengar yang baik. Ia sangat jarang melupakan detail-detail dan memiliki pemahaman yang solid akan matematikan dan angka-angka, sesuatu yang disebut sebagai kemampuan esensial di industri yang ia geluti.

“Sebagian besar dari apa yang kami lakukan sangat berkaitan dengan aspek teknik,” kata Randy Arnett dari A&B Precision, kompetitor utama B&J. “Bisnis ini lebih banyak menggunakan matematika, bentuk-bentuk geometris, ketimbang strategi yang bertele-tele.”

“Ia telah menjadi kompetitor kami yang sangat tangguh,” kata Arnett tentang Thiessens.

Dua tahun lalu, Thiessens diundang untuk bergabung dengan organisasi lokal The Executive Committee, sejenis perkumpulan CEO dimana para pimpinan bisnis non-kompetitif berkumpul dan berdiskusi mengenai hambatan, rencana, dan tantangan bisnis.

Baca juga  12 Prinsip Agile 

Thiessens merasa gelisah. “Ia takut tidak akan bisa nyambung dengan seluruh anggota perkumpulan,” kata Randy Yost, ketua perkumpulan dan mantan CEO Placer Bank of Commerce di California. “Kira-kira 6 bulan setelah bergabung, ia akhirnya jujur pada saya mengenai masalahnya dalam membaca. Pada saat itu, masalah tersebut sangat membebani hidupnya.”

Thiessens membuat pengakuan kepada seluruh anggota perkumpulan tahun lalu.

“Saat itu ia sangat emosional dan suaranya bergetar,” kenang Doug Damon, anggota perkumpulan dan CEO Damon Industries, perusahaan manufaktur minuman konsentrat. “Sangat jelas, hal itu sangat berat buatnya.” Damon mengaku terkejut dengan pengakuan Thiessens. “Saya tahu ia lulusan SMA, tapi saya sama sekali tak pernah berpikir bahwa ia tak bisa membaca. Ia adalah orang yang sangat sukses dalam bisnis. Siapa yang akan menyangka?”

Thiessens takut akan ejekan dan celaan dari rekan-rekan CEO lain yang lulusan universitas. Namun ia juga mendapatkan banyak dukungan. “Seperti aku menghormatinya atas semua yang ia capai, maka kenyataan tersebut meningkatkan rasa hormatku untuknya,” kata Yost.

Oktober lalu, Thiessens menemukan seorang guru yang mengajarnya setiap hari selama satu jam, lima hari dalam seminggu. Saat itulah ia membeberkan rahasianya pada sang plant manager, hingga akhirnya sebulan lalu seluruh karyawan akhirnya mengetahuinya.

Baru-baru ini Thiessens membaca “Gung Ho”, sebuah buku mengenai hubungan dengan karyawan dalam sebuah proyek manajemen tim. Ia membaca dengan kemajuan yang sangat perlahan dan menggaris-bawahi setiap kalimat yang tidak dimengerti, lalu meminta bantuan. Tapi ia akhirnya selesai membacanya. Ia ingin suatu saat mampu menyelesaikan urusan surat-menyurat secepat istrinya dan “membersihkan” surat-surat sampah yang membanjiri mejanya setiap hari. Lebih jauh lagi, ia ingin kisahnya ini mendorong orang lain yang memiliki masalah seperti dirinya untuk segera mulai belajar.

Baca juga  Case Study Lean Management di DBS

“Tidak tahu caranya membaca tidaklah memalukan,” kata Nyonya Thiessens, istrinya yang berusia 37 tahun. “Yang memalukan adalah bila kita tidak melakukan sesuatu untuk mengatasinya”.***