Banyak perusahaan sudah menggunakan tools improvement.
Mulai dari 5S, visual board, checklist, hingga daily meeting.
Tapi kenyataannya—masalah tetap muncul. Proses tetap tidak stabil.
Dan hasilnya? Tools dipakai, tapi target tidak tercapai.
Pertanyaannya:
Apakah tools-nya yang salah?
Atau cara berpikir di balik penggunaannya?
Tools Tidak Bisa Berdiri Sendiri
Tools hanya efektif jika ditopang oleh dua hal:
- Tujuan yang jelas
- Disiplin dalam eksekusi
Tanpa itu, tools berubah fungsi:
- 5S jadi bersih-bersih menjelang audit
- Meeting harian jadi laporan, bukan forum perbaikan
- Checklist jadi formalitas, bukan kontrol proses
- KPI board jadi dekorasi, bukan alat kendali
Kenapa Ini Terjadi?
- Tools dijalankan tanpa pemahaman konteksnya
Banyak implementasi hanya meniru bentuk luar, tanpa memahami kenapa tools itu dipakai. - Tidak ada proses belajar dari tools tersebut
Evaluasi jarang dilakukan. Perubahan tidak pernah dikalibrasi. Tools jadi statis. - Budaya kerja tidak mendukung sistem
Tools mendorong keterbukaan. Tapi jika tim terbiasa menyembunyikan masalah, proses tidak akan pernah jujur.
Apa yang Harus Dibenahi
- Kembali ke prinsip dasar: setiap tools harus menjawab masalah nyata di proses.
- Jangan menilai sukses dari “sudah terpasang” atau “sudah berjalan”.
Ukur dari: apakah tools tersebut membantu menyelesaikan masalah lebih cepat, lebih akurat, lebih stabil. - Dorong feedback. Gunakan tools sebagai alat belajar, bukan simbol compliance.
Tools tidak membawa hasil.
Yang membawa hasil adalah cara berpikir dan kebiasaan yang dibangun melalui tools.
Kalau proses tetap gagal meski tools sudah dipakai,
mungkin yang harus diperbaiki bukan alatnya—tapi cara menggunakannya.
Artikel ini merupakan pengembangan dari e-book “Belajar Lean” karya Riyantono Anwar (2015)