Sebelum perusahaan berinisiatif menjalankan program perbaikan seperti Lean atau Six Sigma, adalah penting bagi organisasi untuk memahami paradigma yang benar tentang metodologi tersebut. Pasalnya, paradigma yang salah bisa menjadi masalah serius di masa depan.
Ketika perusahaan mengenalkan program Lean Six Sigma untuk pertama kalinya, orang-orang cenderung salah persepsi terhadap program tersebut. Orang-orang berpikir bahwa dengan Lean Six Sigma, akan terjadi pengurangan orang di kantor. Jika persepsi ini tidak segera diluruskan maka sudah pasti dampak negatif yang ditimbulkan akan sangat besar. Karena setiap orang yang punya persepsi ini akan menolak dan bahkan berencana menggagalkan inisiatif perbaikan yang akan dilakukan tersebut. Alasan utamanya sederhana, mereka merasa terancam.
Padahal, tujuan Lean Six Sigma yang benar adalah menghilangkan aktivitas tidak penting dan tidak memberikan nilai (non-value-added activities) yang disebut waste, dan memperbaiki aktivitas yang penting dan menambah nilai. Perbedaannya sangat jelas, bukan? Jika masih bingung, berikut penjelasan lengkapnya. Mengurangi orang atau memotong biaya biasanya dilakukan tanpa melakukan analisa nilai atau value analysis terlebih dahulu. Ingat, sebuah aktivitas bisnis harus ada dan tidak bisa dihilangkan jika aktivitas tersebut berkategori menambah nilai atau value-adding/ value-enabling. Value disini adalah faktor-faktor yang mendukung pelanggan untuk bertransaksi, dan mendukung perusahaan meingkatkan revenue. Jika dihilangkan, maka kualitas produk dan layanan kepada pelanggan akan terkena dampak langsung. Resiko operasional perusahaan pun menjadi semakin meningkat.
Jika sebuah proses yang menambah nilai membutuhkan 10 orang dan saat ini hanya ada 5 orang, maka kita harus tambahkan 5 orang lagi. Namun jika saat ini ada 15 orang, maka kita harus kurangi 5 orang. Jadi, Lean Six Sigma menganut prinsip pas. Tidak kurang, tidak lebih.
Contoh berikutnya tentang inisiatif pemotongan biaya. Tanpa analisa yang mendalam, kebijakan yang ceroboh seperti memotong insentif karyawan atau menggunakan spare part berkualitas rendah adalah hal yang mudah terlihat dan cenderung dilakukan. Dalam jangka pendek, inisiatif tersebut terlihat memberikan keuntungan yaitu berupa penghematan. Tapi sesungguhnya biaya yang dikurangi adalah biaya di area value-added dan value-enabler.
Bahaya dari paradigma yang keliru adalah inisiatif yang keliru, seperti yang terjadi pada contoh di atas. Jika perusahaan terus memaksakan sistem tersebut alih-alih menciptakan pertumbuhan bisnis. Sebagai gambaran, perusahaan tadinya memberi susu pada karyawan shift malam, karena ingin berhemat maka susu ditiadakan. Hasilnya, moral karyawan yang bekerja di malam hari, karena memang secara fisik dan mental lebih berat, akan menurun. Karyawan akan merasa dirugikan dan tidak dipentingkan. Hal itu tentu akan berdampak buruk pada perusahaan jika terus dibiarkan.
Satu contoh lagi, seringkali perusahaan ingin berhemat namun dengan cara yang salah. Katakanlah perusahaan mengganti bahan baku produk dengan yang lebih murah dan kualitasnya agak lebih rendah. Misalnya, perusahaan roti yang tadinya menggunakan tepung terigu kualitas tinggi lalu menggantinya dengan terigu kualitas menengah yang lebih murah, tentu akan berpengaruh pada produk roti yang dihasilkan. Pelanggan akan merasakan perbedaannya, lalu menilai produk tersebut sebagai produk dengan kualitas yang menurun, dan beralih pada produk lain dengan harga sama namun memiliki kualitas yang sesuai dengan ekspektasi mereka.
Disini jelas disampaikan bahwa cara yang Lean bukan demikian. Lean tidak akan memangkas tunjangan bagi karyawan sejauh tunjangan tersebut bermanfaat untuk membangun moral, loyalitas dan semangat kerja karyawan. Yang dikurangi oleh Lean adalah aktivitas-aktivitas tanpa nilai, non-value-added activities atau waste, yang menempel di proses-proses bisnis perusahaan. Kuncinya adalah merampingkan proses; menghilangkan bagian-bagian proses yang memperlambat namun tidak memberikan nilai yang berarti pada hasil akhir.