Menciptakan produk berkualitas adalah kunci pertumbuhan bisnis. Meskipun para produsen mengetahui fakta ini, kecenderungan untuk memprioritaskan biaya produksi dengan mengorbankan kualitas masih terjadi di industri manufaktur secara global, inflasi dan margin yang semakin tertekan menjadi salah satu pendorongnya.
Namun, untuk menciptakan produk yang berkualitas tidak berarti pabrikan harus mengeluarkan biaya yang lebih tinggi. Dengan memproduksi barang yang berkualitas, perusahaan juga akan terhindar dari urusan recall produk di masa depan. Tetapi untuk meningkatkan kualitas, bukanlah hal yang mudah. Ada begitu banyak tantangan yang tidak dapat diabaikan, terutama masalah kesenjangan keterampilan.
Sebuah survei yang dilakukan oleh Miele pada April tahun lalu, dari 200 pabrikan di Inggris yang menjadi responden, 44 persen mengakui mengalami kesulitan dalam mengembangkan keterampilan profesional karyawannya. Sementara, Inggris sendiri berada di urutan ketiga sebagai negara yang memiliki tenaga profesional paling terampil di dunia, hanya kalah dari Jerman dan Jepang. 42 persen bisnis di Inggris mengatakan mengandalkan pelatihan internal untuk mengembangkan keterampilan karyawan
Supply Chain
Menurut survei yang sama, tantangan terbesar yang dihadapi para pabrikan adalah memperbaiki proses supply chain. Mayoritas pabrikan mengatakan bahwa mereka harus meninjau ulang kualitas prosedur sebagai dampak industri 4.0, serta kesulitan untuk mengakses bahan baku. Ketika perusahaan meningkatkan kinerja kualitas internal, fokus perusahaan akan tertuju pada supply chain sebagai sumber variasi dan peluang perbaikan.
Pendekatan praktis yang tepat untuk memastikan kualitas supply chain yang kompleks adalah pendekatan yang menekankan faktor risiko. Artinya, perusahaan menilai basis supply mereka sesuai dengan risiko yang mereka ambil pada produk akhir dan menggunakan sumber daya yang sesuai. Salah satu tool yang bekerja efektif disini adalah Production Part Approval Process yang disingkat PPAP. Tool ini awalnya dikembangkan untuk menjamin kualitas supplier di industri otomotif tetapi dengan cepat menjadi populer di sejumlah industri lain.
Menurut American Society for Quality (ASQ), tujuan PPAP adalah untuk menentukan, proses produksi aktual pada tingkat produksi yang ditetapkan, apakah supplier memahami semua desain teknik pelanggan dan spesifikasi persyaratan. Mengutip Manufacturingglobal.com, ketua serikat lembaga pengembangan profesi internasional (IuPDI), Leslie Lee, mengatakan bahwa tahap pertama untuk menjamin kualitas dalam supply chain adalah menilai dan menyetujui sang supplier, tentang kemampuan mereka dalam hal memasok semua persyaratan secara konsisten. Dalam hal ini, perusahaan harus mempertimbangkan beberapa kriteria ketika melakukan penilaian, seperti desain produk, penilaian supplier dari supplier mereka, persyaratan pembelian, proses kontrol (termasuk teknik produksi, kualitas teknik, dan kualitas proses), inspeksi akhir,pengujian kualitas, kualitas (dilihat dari kualitas dan kinerja pengiriman, keluhan dan return pelanggan), dan penjualan.
Pendekatan yang direkomendasikan disini adalah melibatkan supplier untuk mengidentifikasi kelemahan-kelemahan yang mungkin ada, memastikan bahwa mereka memahami dan menerima temuan, dan membantu mereka dalam mengembangkan solusi untuk perbaikan.
Kualitas dan profitabilitas
Industri manufaktur di Inggris mengakui kualitas berperan penting bagi pengembangan dan keberlanjutan bisnis.
Survei Miele melaporkan bahwa 78 persen pabrikan di Inggris percaya bahwa kualitas merupakan kunci untuk membangun bisnis. Para responden menyatakan bahwa peningkatan kualitas produk akan meningkatkan profitabilitas dan pendapatan sebesar 30 persen.
Mayoritas pabrikan percaya bahwa memastikan kualitas produk mendorong kepercayaan pada suatu merek dan dapat memberi keunggulan kompetitif. Bahkan, peningkatan kualitas produk dianggap penting oleh responden untuk meningkatkan pangsa pasar mereka.
Untuk meningkatkan profitabilitas melalui kualitas, perusahaan perlu memeriksa biaya mereka atau mencegah dan mengatasi masalah kualitas, dengan tujuan untuk mencapai keseimbangan yang tepat untuk tujuan mereka. Pendekatan ini disebut Cost of Poor Quality (CoPQ) atau Total Quality Control (TQC).
Perusahaan yang memimpin pasar adalah mereka yang melihat peningkatan profitabilitas melalui peningkatan kualitas. Sebuah studi yang dilakukan oleh Forbes bersama ASQ pada tahun 2017 lalu menunjukkan bahwa 71 persen perusahaan kelas dunia melihat kualitas sebagai pendorong untuk efektivitas dan profitabilitas bagi bisnis. Sebelumnya, pada tahun 2014 Forbes dan ASQ juga melakukan studi tentang budaya kualitas di Hewlett-Packard (HP). Mereka mencatat bahwa di HP kualitas ditentukan oleh pelanggannya.
Membangun ‘budaya kualitas’ sangat penting bagi keunggulan bisnis dan konsep ini populer untuk menggambarkan bahwa orang-orang di perusahaan menjadi tool kualitas yang paling berharga.
Perusahaan yang menempatkan kualitas sebagai keunggulan kompetitif, berada dalam posisi terbaik untuk mengukur tingkat efektivitas dari inisiatif kualitas mereka. Sementara dari perspektif pengguna akhir atau pelanggan, langkah-langkah ini dapat digunakan untuk mempromosikan reputasi, klaim terhadap pesaing, dan harga yang kompetitif.
Badan industri farmasi AS, saat ini juga tengah mengerjakan proyek multi-tahunan untuk menilai dan mengukur atribut budaya kualitas ini. Pada tahun 2017 lalu, mereka melaporkan bahwa regulator semakin fokus pada budaya kualitas karena mereka mengakui konsep ini akan berdampak besar pada produksi produk-produk berkualitas.
Mulai dari AS ke Inggris dan di seluruh dunia, Sumber Daya Manusia (SDM) selalu menjadi kunci untuk membuka potensi kualitas di organisasi apapun dan seperti yang ditunjukkan oleh Miele, pabrikan menyadari hubungan kuat antara kualitas dan kesuksesan. Pertanyaannya sekarang, apakah mereka menyadari apa yang mereka butuhkan untuk memotivasi organisasi internal dan para kolaborator mereka untuk mengejar kualitas?