Penelitian menunjukkan bahwa 70% program perubahan yang dilakukan organisasi gagal. Apa penyebabnya?

Manajemen perubahan atau change management yang diterapkan secara tradisional sudah ketinggalan zaman. Survei McKinsey menemukan bahwa 70 persen program perubahan gagal mencapai tujuan mereka, sebagian besar karena resistensi karyawan dan kurangnya dukungan manajemen. Sementara, perusahaan semakin terobsesi menggunakan digital untuk meningkatkan bisnis yang artinya mereka juga harus mempercepat perubahan internal.

Ketika perusahaan dituntut untuk lebih cepat dan efisien, tools digital bisa menjadi pilihan tepat, konsekuensinya perusahaan dipaksa untuk berubah dan beradaptasi. Perubahan ini harus terjadi di semua level: para pemimpin harus bisa membuat keputusan lebih cepat, para manajer harus bisa lebih fleksibel dan kolaboratif. Bagi banyak organisasi, rencana strategis lima tahun atau bahkan tiga tahun sudah tidak lagi berlaku. Karena bisnis saat ini berbicara tentang kecepatan, organisasi tidak lagi bisa menghabiskan terlalu banyak waktu untuk menguji dan meluncurkan inisiatif baru. Oleh karena itu keunggulan kompetitif perusahaan akan meningkat hanya jika mereka memiliki kemampuan menetapkan prioritas dan menjalankan proses baru yang lebih cepat dari pesaingnya.

Mengingat perubahan sebagai keharusan bagi organisasi, bagaimana organisasi dapat mencegah hal-hal yang akan menghambat inisiatif mereka sendiri? Menjawab pertanyaan ini, Lior Arussy, penulis buku Next is Now dalam sesi wawancara dengan Forbes mengatakan bahwa perubahan tidak bisa menjadi pengecualian, itu adalah aturannya. Artinya, semua industri sedang berjuang keras menciptakan transformasi melalui inovasi teknologi, selera pelanggan yang berkembang dan model bisnis baru seperti on-demand economy. Perubahan yang terjadi tidak hanya sekedar tren, mereka telah menjadi realitas baru bagi semua industri. Adaptasi terhadap perubahan sangat penting untuk menjamin kelangsungan hidup baik itu bisnis maupun kehidupan. Perubahan baru juga menciptakan krisis identitas, sebagian besar perusahaan membutuhkan cara baru untuk menjalankan bisnis sehingga bisa merespons kegagalan di setiap waktu. Namun, pendekatan atau kebiasaan baru yang bekerja dengan baik secara bersamaan juga mengancaman keamanan finansial dan sistem kepercayaan perusahaan. Penelitian yang dilakukan Harvard Business Review, bersama dengan Strativity mengkonfirmasi kebenaran tersebut. Sebanyak 86% responden mengkonfirmasi bahwa mereka telah melakukan bergagai inisiatif perubahan secara keseluruhan bersamaan, mereka telah berusaha melakukan berbagai inisiatif perubahan di setiap fungsi bisnis secara bersamaan. Tragisnya, 91% responden mengaku gagal.

Kenapa banyak yang gagal?

Alasan mengapa suatu perubahan bisa gagal sangatlah bervariasi. Dalam survei yang dilakukannya, Arussy menemukan daftar alasan kegagalan sebagai berikut :

1. Masalah ‘anggaran yang tidak mencukupi’ (23%)

2. Waktu yang tidak cukup (17%)

3. Komunikasi yang buruk (62%)

4. Leadership dan dukungan yang tidak memadai (54%)

5. Politik organisasi (50%)

5. Kurangnya pemahaman tentang tujuan perubahan (50%)

6. Kurangnya dukungan pengguna (42%) )

7. Kurangnya kolaborasi (40%)

Dari daftar di atas kita bisa melihat bahwa ini semua adalah masalah manusia. Sebagai seorang pemimpin, kita tidak mendorong perubahan. Dan sebagai karyawan, kita tidak mendukungnya. Dengan kata lain, orang-orang di organisasi cenderung bertindak secara emosional, bukan secara logis. Studi ini juga menggambarkan bahwa  kesenjangan keterampilan (skill gap) yang besar dapat menyebabkan kegagalan besar dalam inisiatif perubahan. Sementara komunikasi buruk bisa menyebabkan kerugian waktu hingga 62% dan kurangnya pemahaman tentang tujuan dari program perubahan menyumbang kegagalan hingga 50%.

Baca juga  Inilah Strategi Perbaikan Mencapai Operational Excellence