Sumber Photo: Galdieri/Bloomberg via Getty Images
Sumber Photo: Galdieri/Bloomberg via Getty Images

Sebuah hasil survey yang dilakukan oleh salah satu lembaga survey di AS, Gallup menemukan bahwa perusahaan dengan peran serta yang tinggi dari setiap karyawannya memiliki produktivitas, profitabilitas dan juga customer rating yang  tinggi serta rendahnya tingkat turnover dan kehadiran tim. Selain itu, insiden terkait keselamatan kerja juga lebih rendah.

Namun, menariknya dari sebuah hasil penelitian lain menemukan bahwa rendahnya tingkat keterlibatan karyawan di Amerika Serikat ternyata merugikan perusahaan sebesar 450 hingga 550 juta dolar AS.

Asumsi dari hasil survey dan penelitian ini adalah, jika salah satu kunci sukses sebuah organisai terletak pada budaya perusahaan, dalam hal ini mengembangkan kreativitas, inovasi dan juga ownership yang tinggi dari karyawan, maka dengan rendahnya peran karyawan di dalam organisasi, hal tersebut juga berdampak pada rendahnya kreativitas, inovasi dan ownership dari karyawan, sehingga produktivitas organisasi secara keseluruhan juga menurun.

Fakta lain yang ditemukan juga cukup menarik. Selama hampir 30 tahun terakhir, berbagai perusahaan di Amerika Serikat telah menikmati hasil keuntungan yang cukup menggiurkan, namun manfaat ini tidak dirasakan oleh pekerjanya. Sebaliknya, upah pekerja di sebagian sektor industri di AS mengalami penurunan atau stagnan.

Berikut beberapa hasil penemuan lainnya yang menyebabkan menurunnya tingkat keterlibatan karyawan (employee engagement) di berbagai perusahaan di Amerika.

1. Share Total Income

Data dari Census Bureau menunjukkan bahwa pendapatan di tingkat middle-class mencapai angka tertinggi yaitu 54% pada 1968 dan menurun hingga 45,7% dari total pendapatan di 2012.

2. Upah yang Baik Ada di Kelas Menengah

Permasalahannya adalah semakin sedikit pekerjaan di level kelas menengah, yaitu pekerjaan dengan upah yang cukup baik – antara $14 dan $21 per jamnya. Grafik Occupational Growth Rates menunjukkan bagaimana pekerjaan di kelas menengah menurun sedangkan terjadi peningkatan pekerjaan dengan upah rendah sejak awal resesi besar.

Baca juga  Boosting Company Performance Through KPI Implementation: Insights and Strategies From Hulu Target

3. Corporate Re-engineering

Sebagai dampak globalisasi bagi ekonomi AS, perusahaan-perusahaan besar Amerika mulai melakukan rekayasa ulang (re-engineering) untuk menurunkan biaya dengan cara apapun yang mereka bisa. Terutama, mereka mulai bertransformasi menjadi perusahaan yang terintegrasi dengan semua fungsi, departemen dan orang-orang untuk mengatasi semua masalah bisnis. Rekayasa ulang ini termasuk upaya bersama untuk mengurangi biaya tenaga kerja di masa depan karena dampak dari persaingan global.

4. Penurunan Jumlah Serikat Pekerja

Pada tahun 2013, tenaga kerja di Amerika Serikat mencapai titik terendah dalam 97 tahun. Hanya 11,3% dari semua pekerja yang bergabung dalam perserikatan buruh. Di sektor swasta, serikat pekerja turun menjadi 6,6% dari sebelumnya 35% pada 1950-an. Perusahaan-perusahaan di Amerika telah membuat upaya bersama untuk menghilangkan serikat pekerja dan mengurangi biaya tenaga kerja sejak tahun 1980-an dan upaya ini terlihat berhasil.

5. Automation

Selama 40 tahun terakhir, para produsen telah melakukan investasi besar dalam otomatisasi untuk mengurangi biaya tenaga kerja. Otomatisasi telah sangat sukses dalam menghilangkan jutaan pekerjaan kerah biru. Pengenalan internet dan komputer juga memberikan perusahaan kesempatan untuk menghilangkan jutaan pekerjaan kerah putih dengan outsourcing pekerjaan ke negara-negara Asia.

 6. Sistem Pembayaran Two-Tier

Strategi yang bisa dibilang cukup ekstrim untuk mengurangi biaya upah adalah sistem membayar dua tingkat (two-tier). Umumnya, sistem membayar dua tingkat ini merupakan imbalan bagi karyawan lama dengan menjaga dan menaikkan upah mereka, tetapi mengurangi upah semua karyawan baru. Hal ini mendorong serikat pekerja yang lebih tua untuk memberikan suara terhadap pekerja muda untuk mempertahankan status mereka, yang selanjutnya mengikis solidaritas serikat. Seiring waktu, pekerja yang lebih tua akan pensiun dan pekerja baru dipekerjakan dengan skala upah yang lebih kecil. Secara menyeluruh, cara ini dapat mengurangi biaya tenaga kerja.

Baca juga  Selamat Tahun Baru 2025, Excellent People!

 7. Pekerja Sementara – Part Time

Biro statistik tenaga kerja AS menunjukkan bahwa pekerjaan sementara atau paruh waktu mengalami kenaikan dari 1,9 juta pada Januari 2010 menjadi 2,7 juta pada bulan Juli 2013. Survei tersebut juga menemukan bahwa 30% dari orang-orang ini ingin mendapatkan pekerjaan penuh waktu. Ada beberapa alasan untuk lonjakan dalam pekerjaan paruh waktu. Yang pertama adalah bahwa bisnis masih belum pasti sehingga perusahaan tidak ingin mempekerjakan pekerja penuh waktu.

8. Pekerja Kontrak

Selain pekerja paruh waktu dan pekerja sementara ada kategori lainnya yang berkembang yang disebut pekerja kontrak. Ini adalah pekerja penuh waktu yang bekerja sendiri, tetapi bukan bagian dari jumlah perusahaan. Pekerja kontrak adalah kategori yang relatif baru dan berkembang dalam kondisi ekonomi yang baru. Sebuah laporan penelitian dari University of California menemukan ada 1,7 juta pekerja wiraswasta atau kontrak di AS, atau 10,2% dari total angkatan kerja.

Dari beberapa fakta yang ditemukan, Michael Collins, seorang pakar manajemen khusus untuk industri manufaktur menilai bahwa pelaku industri membuat kasus bahwa pasar mendikte harga dan upah berdasarkan kompetisi, serta pasokan dan permintaan. Tetapi dengan penurunan serikat pekerja, tenaga kerja belum dalam posisi untuk memiliki banyak daya tawar sejak munculnya globalisasi. Sehingga upah stagnan atau bahkan menurun, namun di sisi lain keuntungan perusahaan dan gaji CEO terus naik.

Upaya tak kenal lelah oleh perusahaan untuk mengurangi biaya tenaga kerja selama 40 tahun terakhir, bisa dibilang sukses namun juga menimbulkan masalah baru. Dan semua indikasi ini menunjukkan bahwa upaya pengurangan tenaga kerja akan berlanjut di masa depan.

Lalu, bagaimana perusahaan memotivasi karyawan untuk memberikan yang terbaik kepada perusahaan ketika banyak dari mereka yang hidup dari gaji ke gaji atau hidup dalam kekhawatiran bahwa pekerjaan yang mereka miliki tidak permanen?

Baca juga  Antara Lapangan dan Kantor, Inilah Persamaan Peran Pelatih dan Konsultan

Peningkatan tunjangan untuk CEO ditengah penurunan upah buruh memang menjadi ironi yang terjadi di beberapa perusahaan manufaktur AS. Sebuah laporan dari AFL/CIO menemukan bahwa seiring dengan kenaikan pendapatan yang didapat perusahaan, gaji / tunjangan CEO juga naik 30 kali lebih tinggi dari pekerja pabrik. Hal ini membuat perusahaan sangat sulit untuk meyakinkan karyawan bahwa mereka  harus berkorban demi bersaing dalam ekonomi global atau untuk meyakinkan mereka bahwa tidak ada ketimpangan pendapatan.

Hasil survey lainnya yang dilakukan oleh Harvard Business School, menemukan bahwa 71% dari responden survey memilih keterlibatan karyawan sangat penting untuk mencapai keberhasilan organisasi secara keseluruhan. Namun hanya 24% mengatakan karyawan dalam organisasi mereka yang benar-benar terlibat.

Sehingga pertanyaan besarnya adalah bagaimana perusahaan akan memotivasi karyawan untuk memberikan yang terbaik untuk perusahaan ketika banyak dari mereka adalah pekerja oursourcing?

Menurut Collins, perusahaan-perusahaan Amerika sebenarnya memahami bahwa mereka dapat menjadi lebih kompetitif jika mereka  membuka jalan untuk kreativitas, inovasi dan ownership dari karyawan. Namun, untuk memotivasi para karyawan untuk memberikan yang terbaik, harus dimulai dengan diskusi tentang upah, tunjangan, keamanan dan ketidaksetaraan yang selama ini menjadi kekhawatiran sebagian pekerja pabrik di AS.***

Sumber: Harvard Business Review