Seperti pisau bermata dua, di satu sisi keberadaan masalah memang bisa menumbuhkan inovasi, namun sebaliknya juga dapat menjadi serangan yang mengancam kelangsungan hidup perusahaan. Bagaimana menjaga perusahaan dari serangan masalah?
Masalah selalu ada dalam dunia bisnis, bahkan datang silih berganti seperti tidak ada hentinya. Bagi Anda seorang manajer, pilihan ada di tangan Anda. Saat masalah datang, reaksi yang diberikan oleh team tentu akan bergantung pada reaksi Anda, bagaimana Anda melihat dan memperlakukan masalah. Apa yang team Anda lakukan sebagai turunan dari pemikiran Anda.
Sun Tzu, seorang pemikir strategi perang China pernah mengatakan bahwa: “Dengan mengenal dirimu dan mengenali musuhmu, maka 1000 kemenangan akan bisa diraih.” Nasihat bijak ini mengajak kita mampu melihat seberapa besar kekuatan yang kita miliki dan di mana posisi kita saat ini. Musuh bukan hanya kompetitor kita, tantangan di internal “mindset karyawan” juga berpotensi menjadi musuh yang nyata. Tantangan akan menjadi peluang selama kita mampu berubah dan beradaptasi dengan baik.
Organisasi yang baik menggunakan mindset end-to-end process di seluruh proses bisnis mereka, yaitu selalu memilih mengambil risiko dengan terus berproses mengenali masalah dan mendorong organisasi menggunakan continuous improvement. Keberhasilan organisasi dalam mewujudkan end-to-end process dangat dipengaruhi oleh mindset seluruh anggota organisasinya. Organisasi harus mempunyai budaya yang kuat, mendorong anggotanya untuk selalu mengangkat masalah dan mengidentifikasikannya ketika muncul. Hal ini dilakukan sebagai tindakan preventif untuk menghindari kerugian yang bisa muncul akibat terulangnya kesalahan yang sama di masa akan datang.
Apa Itu End-To-End Process Thinking?
Dalam manajemen Lean, end-to-end bisa diartikan mengoptimalkan seluruh kinerja dan langkah-langkah yang efisien di setiap proses sehingga mampu menghilangkan hambatan-hambatan prosedural secara komprehensif sehingga sejumlah waste (pemborosan) dapat dihilangkan.
Cara terbaik untuk mendorong proses end-to-end adalah menitikberatkan fokus kepada pelanggan dan menghubungkan semua orang untuk mewujudkan realitas pengalaman pelanggan yang baik. Untuk mencapai hal ini, berarti organisasi akan membawa semua anggota bersama-sama untuk memahami bagaimana mengetahui, memenuhi , dan melewati harapan pelanggan.
Budaya kolaboratif dalam pemecahan masalah menjadi salah satu upaya untuk seluruh anggota organisasi belajar menciptakan ketergantungan sama lain. Ketergantungan antar departemen yang ini akan membantu mereka dalam mengatasi masalah. Hal ini terjadi selama masalah dianggap sebagai suatu pembelajaran, tidak saling menyalahkan. Dengan kolaborasi setiap anggota organisasi akan menyadari bahwa mereka memiliki peran yang sama penting dalam menciptakan kepuasan pelanggan.
Bukan Silo Thinking
Dalam organisasi, kebanyakan setiap departemen sibuk dengan acara internal. Ditambah lagi beberapa organisasi menerapkan ukuran kinerja dan besaran bonus yang diberikan berdasarkan kinerja departemen atau seberapa besar kontribusi anggota secara personal. Hal ini dapat memicu terbentuknya mental “kami vs mereka” yang menyebabkan memburuknya kinerja antar departemen bahkan persaingan di internal sehingga terbentuknya dominasi anggota-anggota yang mengejar eksistensi untuk dirinya sendiri. Ini bisa merugikan organisasi secara keseluruhan.
End to end process, berarti kita harus menghilangkan budaya silo. Silo adalah pola pikir yang terjadi dalam organisasi dimana anggota organisasi hanya melihat ke dalam dan menolak untuk berbagi informasi dan sumber daya dengan orang lain atau departemen lain dalam satu organisasi. Pola pikir ini mengakibatkan anggotanya kurang memahami peran mereka dalam keberhasilan organisasi secara keseluruhan sehingga tidak ada tanggungjawab satu sama lain apabila terjadi masalah dan malas dalam berkoordinasi. Apabila hal ini terus terjadi maka perusahaan akan mengalami permasalahan yang cukup kronis, masalah menumpuk dan semakin jauh dari visi yang diusung.
Masalah yang ada dianggap sebagai milik per seorangan atau per departemen sehingga muncul pemikiran penyelesaian tidak harus berurusan dengan orang lain atau departemen lain, ini biasanya berhubungan dengan masalah proses. Sebagai contoh dalam industri manufaktur, team produksi memutuskan mengubah beberapa bagian pemrosesan untuk mempercepat waktu. Mereka menghilangkan proses pemeriksaan mutu internal dalam proses review produk, karena merasa sebagai pihak tunggal yang bertanggungjawab perbaikan dilakukan secara terisolasi tanpa konsultasi. Akibatnya ada peningkatan kerusakan pada sejumlah produk sehingga keseluruhan proses akan terhambat dan kurang efisien.
Pemikiran silo juga bisa mengubah talent – talent cerdas perusahaan menjadi robot, mereka hanya bekerja sesuai dengan aktivitas rutin secara formal tanpa perlu merasa bertanggungjawab dalam meningkatkan kualitas atau mengurangi biaya selama proses produksi. Pemikiran silo juga menyebabkan kebodohan kolektif bahkan di sebuah organisasi yang mempunyai talent terbaik. Mereka semua tahu bahwa ada masalah terstruktur dan berdampak terhadap organisasi, masalahnya tidak ada yang melihat itu sebagai tanggungjawab mereka.
Beberapa organisasi telah berhasil menghilangkan mental silo ini melalui pembentukan budaya perusahaan yang kuat. Selama mental silo masih ada dalam organisasi Anda, berarti proses yang Anda jalankan masih salah. Setuju bukan?