Metode improvement terus berkembang, dari satu metode muncul metode baru berikutnya, namun tampaknya organisasi lebih ingin mengejar hal baru dibanding melakukan continuous improvement. Dalam semangat bisnis hari ini, inovasi berbasis digital menggantikan program peningkatan kualitas dan efisiensi. Benarkah continuous improvement sudah tak lagi dibutuhkan?
Ketika membahas continuous improvement (CI) atau kaizen (Jepang), banyak orang yang langsung berpikir tentang Toyota dengan TPS-nya (Toyota Production System) yang sukses menjadi standar baru di dunia manufaktur. Menggunakan TPS, Toyota memberdayakan setiap individu untuk mengidentifikasi area untuk perbaikan dan menyarankan solusi praktis.
Mereka kemudian menyadari bahwa hal terpenting yang harus diubah adalah bagaimana cara organisasi mengelola orang, sehingga terbentuklah manajemen baru bernama Toyota Way dengan salah satu filosofi utamanya menghormati orang dan menanamkan siklus pembelajaran yang berkelanjutan.
Toyota pada awalnya meminjam metode dan filosofi dari perusahaan lain. Mereka terus mencari cara terbaik, mengubah metode dan filosofi tersebut agar sesuai dengan kebutuhan budaya mereka, inilah kunci penting yang harus kita ketahui kenapa Toyota Way berjalan baik. TPS dan Toyota Way inilah yang kemudian menjadi fondasi metode Lean. Keberhasilan metode Lean bisa kita lihat dari Intel dan Nike.
Metode berikutnya adalah Total Quality Management (TQM) dan Six Sigma yang berasal dari Pasifik. Fokus TQM adalah mencapai kualitas dengan memahami kebutuhan pelanggan. Mengutip exavalu.com, TQM yang diajarkan oleh W. Edward Deming ini mulai digunakan oleh perusahaan swasta sebagai strategi continuous improvement setelah militer Amerika Serikat mengadopsinya.
Adapun Six Sigma diperkenalkan oleh Bill Smith dari Motorola. Mirip dengan TPS dan TQM, Six Sigma juga sebagai metode peningkatan kualitas dengan menggunakan sejumlah tools. Six Sigma dapat menghilangkan defect dan mengurangi variasi dalam proses. Kisah sukses Six Sigma sebagai strategi continuous improvement ini dibagikan oleh General Electric dan raksasa ritel Amazon.
Kemudian di tahun 2000-an Lean Six Sigma (LSS), yang merupakan metode gabungan dari TPS (Lean) dan Six Sigma mulai digunakan. Fokusnya yaitu mengurangi pemborosan dan cacat proses, lebih lanjut metode ini memberikan kerangka untuk perubahan budaya. Dalam dua puluh tahun terakhir ini, banyak perusahaan di berbagai industri mengadopsi Lean Six Sigma sebagai strategi peningkatan laba, salah satunya yaitu NASA. Dalam blog perusahaan, NASA menyatakan sukses besar menggunakan LSS ke dalam proses manufaktur, operasional, transaksional, dan layanan,
Dan kini setelah masuk di era digitalisasi, di era kecerdasan buatan berkembang pesat. Muncul metode bernama Agile, metode yang dikembangkan dan disesuaikan untuk pengembangan perangkat lunak. Manfaat yang ingin dicapai dengan metodologi Agile adalah waktu yang lebih cepat untuk meluncurkan produk ke pasar, ROI yang lebih cepat, biaya yang lebih murah, resiko yang lebih kecil, dan kecepatan untuk merespons perubahan.
Apakah CI Masih Penting?
Teknologi digital termasuk kecerdasan buatan (AI) mendorong reorganisasi berjalan lebih cepat. Hal ini memberi pengaruh besar bagi banyak organisasi, pendanaan untuk program continuous improvement (yang konvensional) perlahan berkurang digantikan dengan anggaran inovasi yang lebih strategis.
Tentu saja ini pilihan berdasar, sebab kemajuan AI memungkinkan pengguna bisnis mendapatkan wawasan lebih cepat dan lebih efisien dari sebelumnya. Jika kita mengadopsi AI dan teknologi digital lainnya, tools tradisional seperti analisa manual dan vsm mungkin tidak lagi diperlukan. Namun, jika kita berbicara tentang filosofi CI yang terbukti berhasil di masa lalu maka keberadaan CI menjadi semakin penting di era digital.
Organisasi di masa depan akan membutuhkan sistem baru, teknologi baru, dan keterampilan baru yang terus berkembang. Untuk bisa membangunnya, dibutuhkan sumber daya manusia yang dapat cepat beradaptasi juga fleksibel. Sebab itu, penting bagi tim untuk mengambil bagian yang relevan dari filosofi dan metodologi CI (TPS, Lean, Six Sigma, Agile, dll) dan menyesuaikannya untuk memenuhi kebutuhan organisasi.
Secara organisasi, aspek dasar budaya CI seperti berpusat pada kebutuhan pelanggan, menghormati orang-orang, menghilangkan pemborosan, membangun kualitas, dan menciptakan nilai akan selalu dibutuhkan di masa depan.
***Excellent people, kamu juga bisa mendapatkan banyak insigh menarik dari majalah SHIFT Indonesia yang diterbitkan secara gratis. Kamu bisa membacanya di https://shiftindonesia.com/majalah-shift-indonesia/