“Operational excellence kita sebut sebagai business strategy tapi pada masa yang sama ini memiliki arti yang lebih besar, lebih holistik,” Azman Shah Mohamed Noor, VP Head of Operational Excellence Sime Darby Plantation.
Azman Shah Mohamed Noor, VP Head of Operational Excellence Sime Darby Plantation mengatakan bahwa untuk mencapai operational excellence di era VUCA, perusahaan perlu membangun strategi yang tepat.
“VUCA ini sebenarnya tidak berbeda dengan cerita superheroes. Di dalam Avenger, VUCA ialah tanos, to beat tanos apakah cukup hanya ada Steve Rogers, which is Captain America atau Tony Stark? Individual is not good enough, to beat this VUCA we need team. Disini kami berfikir ada 3 hal yang dapat membantu, pertama strategic stewardship, kedua tactical development, yang ketiganya ialah cultural transformation. Inilah perjalanan kami selama lima tahun,” ungkapnya.
Sime Darby Plantation adalah produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Dalam lima tahun terakhir perusahaan berhasil mendeliver dari 15 juta menjadi 775 juta ringgit melalui inovasi-inovasi yang dijalankannya. Strategi keberhasilan inilah yang dibagikan Azman dalam konferensi OPEXCON 2018.
Strategi pertama adalah “strategic stewardship”, yaitu bagaimana perusahaan membangun visi dan bagaimana mendapatkan komitmen dari semua pihak baik itu top manajemen, middle manajemen, dan semua karyawan untuk mendukung visi tersebut.
Menurut Azman, hal ini tidaklah mudah, tetapi pasti ada cara untuk mewujudkannya. Langkah pertamanya dengan menentukan real target. Perusahaan harus datang dengan roadmap yang jelas, karena sangat penting bagi perusahaan untuk mengetahui perjalanan apa yang perlu dilakukan, dan ini juga harus holistik. Bahasa yang digunakan juga harus jelas, harus memilih istilah yang pas sehingga bisa diterima dengan baik di setiap levelnya. Misalnya, untuk mendapat attention dari manajemen, maka kita perlu memperkenalkan program continuous improvement sebagai strategi bisnis.
Roadmap yang dibuat juga harus disertai dengan rencana aksi yang jelas. Proses pembuatannya juga harus melibatkan semua karyawan yang memiliki pengalaman continuous improvement. Azman mengenang bagaimana reaksi karyawan ketika diminta untuk membantunya menghasilkan blueprint 5 tahun untuk mencapai 500 juta. “Jawaban pertama dari mereka ini gilakah? Apa benarkah bapak mau buat begitu?” kata Azman.
Menurutnya, expected, challenges, dan rejected adalah hal biasa, selanjutnya adalah memberikan penjelasan bahwa target ini didapat dari hasil kajian, prinsipnya bersama kita bisa. “Jadi mereka membuat roadmap dan berhasil. Jadi apa yang saya share hari ini adalah roadmap blueprint kami berasal dari ide-ide karyawan-karyawan di dalam syarikat”.
Dalam roadmap blueprint harus di-state dengan jelas apa hal yang ditujunya, apa targetnya, dimana proyek-proyek high impact-nya, dan siapa yang perlu terlibat. Bila roadmap sudah ada baru kita bisa melangkah ke step yang lebih lanjut pada implementasi. Tetapi sebelum itu, kita perlu memahami bahwa seringnya perusahaan hanya fokus pada capacity dan competency building. Karyawan-karyawan akan dikirim untuk mengikuti workshop sementara perusahaan berharap keajaiban, miracle will happen. Padahal dalam mencapai operational excellence ada banyak faktor lain yang berpengaruh, termasuk infrastruktur.
Selanjutnya adalah struktur proyek manajemen, bagaimana memilih proyek yang high impact dan bagaimana membangun komunikasi yang inklusif. Azman juga menjelaskan bagaimana pentingnya melakukan balancing program, “Kami juga mengalami hal yang sama, manajemen selalu menginginkan hasil yang cepat. Tetapi di saat yang sama diperlukan capacity building terlebih dahulu. Orangnya cepat, infrastruktur juga harus dibangun.”
Lebih lanjut Azman menjelaskan bahwa operational excellence tidak hanya berbicara tentang bisnis, tetapi juga memiliki role yang lebih besar. “Operational excellence kita sebut sebagai business strategy tapi pada masa yang sama ini memiliki arti yang lebih besar, lebih holistik, yaitu tanggung jawab kita kepada bumi, karyawan, dan penciptaNya. Sebab, melalui operational excellence kita bisa tengok resources comsumption dan reduce the waste (limbah). Bila limbah dikurangi maka bumi akan survive,” kata Azman. Yang juga diakui sebagai upaya untuk meningkatkan people safety.
Jika perusahaan telah berhasil menjalankan continuous improvement, maka tantangan selanjutnya adalah sustainability. Sime Darby memperkenalkan yearly assessment, sebuah program untuk menampilkan progress yang telah dicapai perusahaan. Menurut Azman hal ini akan sangat membantu perusahaan, karena ketika continuous improvement tidak masuk dalam annual report, pada saat itu juga karyawan akan berbicara bahwa hal tersebut tidak penting bagi perusahaan. Para praktisi juga perlu memiliki keahlian negosiasi.
Terkadang, manajemen lupa bahwa untuk sustain perlu untuk membangun experience menjadi sebuah belief. Contohnya, ketika manajemen beranggapan bahwa proyek perbaikan adalah penting tetapi ketika tiba waktu presentasi pihak manajemen tidak hadir. “Experience-nya mengatakan bahwa manajemen tidak hadir karena menganggap ini tidak penting, action dan results tidak ada,” tambah Azman.
Erna dari Vivere Group, yang turut hadir menjadi peserta konferensi OPEXCON 2018 mengaku sangat tertarik dengan materi yang dibawakan oleh Azman. Dia juga menyatakan ingin mengetahui lebih lanjut mengenai tantangan terbesar yang dihadapi Sime Darby Plantation dalam mencapai operational excellence.
“Saya pikir tantangan terbesarnya adalah transformasi budaya. Ini yang terbesar. Ini bukan bagian dari taktik, bukan tentang menciptakan keuntungan tetapi bagaimana kita melakukan perubahan perilaku dan kami pikir itu bukan hanya karyawan saja, tetapi bagaiiman kita mengubah pola pikir kepemimpinan. Bagaimana kita mendeklarasikan pergeseran dengan jelas bahwa bagaimana kita melakukan perbaikan berkelanjutan adalah penting. Jadi kita harus holistik…….. Dan satu hal yang tidak kalah penting adalah mengukur transformasi. Make a plan and track!” tutup Azman.
Sumber: Youtube SHIFT Indonesia