Toyota berhasil menjadi produsen otomotif nomor satu di dunia, menggeser posisi General Motors dan perusahaan otomotif lainnya. Sebuah artikel berjudul “No Satisfaction at Toyota” mengungkap kesuksesan Toyota yang ternyata pola pikir Toyota yang anti-mainstream merupakan kunci sukses mereka.
- Persaingan Toyota bersifat internal, yang melibatkan kritik dalam diri sendiri. Kebanyakan organisasi hanya melihat faktor eksternal sebagai alasan kegagalan mereka. Kompetitor yang kuat atau atasan yang tidak adil merupakan salah satu yang sering dijadikan alasan. Namun Toyota lebih memilih filosofi “saya yang bertanggung jawab terhadap hidup saya sendiri,” yang terasa lebih memotivasi, dimana orang-orang bertanggung jawab terhadap situasi dan pekerjaan mereka sendiri untuk melakukan perbaikan.
- Menghargai sudut pandang yang berbeda untuk menciptakan satu solusi yang efektif. Toyota sengaja menumbuhkan sudut pandang yang bertentangan dalam organisasi dan justru menantang seluruh karyawan untuk menemukan solusi melalui perbedaan-perbedaan, bukan berkompromi dengan keadaan. Ternyata cara ini ternyata menghasilkan ide-ide inovatif yang diimplementasikan Toyota untuk bersaing dengan kompetitor.
- Memperlakukan SDM sebagai investasi yang besar. Toyota telah berinvestasi sangat besar dalam pengembangan Sumber Daya Manusia dan kemampuan organisasi mereka, juga mengumpulkan ide dari semua karyawan di seluruh divisi dalam perusahaan.
[cpm_adm id=”10763″ show_desc=”no” size=”medium” align=”left”]
“Toyota melihat karyawannya bukan hanya sebagai sepasang tangan yang melakukan pekerjaan, melainkan sebagai pekerja berilmu yang menumpuk chie – hikmah dari pengalaman-pengalaman yang mereka dapatkan – di lini depan perusahaan,” demikian kata Hirotaka Takeuchi, Emi Osono, dan Norihiko Shimizu dalam Harvard Business Review.
Itulah sebabnya divisi HRD di Toyota berperan lebih jauh daripada HRD pada umumnya.
“Perhatian pertama kami adalah bagaimana kami mampu membuat para karyawan tidak takut dan merasa sungkan pada manajemen sehingga mereka bebas menceritakan masalah yang mereka hadapi kepada kami,” kata Kiyoshi (Nate) Furuta, Wakil Presiden divisi Human Resources pertama pada pabrik Toyota di Georgetown
Dengan begitu, seluruh orang-orang Toyota tentu tak hanya berperan sebagai pekerja biasa, tetapi juga problem solver. Berbeda dengan perusahaan Amerika yang suka melebih-lebihkan dalam hal prestasi dan keberhasilan yang diraih, Toyota lebih suka menyikapi kesuksesan dengan pertanyaan “apakah masih ada kekurangan lain yang dapat diperbaiki untuk menjadi lebih baik lagi?”
- Toyota tidak pernah memiliki batasan organisasi. Melakukan berjuta kali perbaikan kecil dalam organisasi ketimbang melakukan sebuah perbaikan besar yang spektakuler, tentu tidak efektif.
Terlebih lagi, dalam Toyota, supervisor dan manajer bukanlah ‘bos’, melainkan penyempurna. Mereka membuat semua proses menjadi lebih sempurna. Definisi yang tidak biasa dari peran seorang manajer ataupun supervisor, bukan?
- It’s the process, not the product. Meskipun sebuah produsen mobil, namun fokus Toyota bukan pada bagaimana mereka menciptakan sebuah mobil, tetapi pada bagaimana mereka mampu membuat mobil dengan lebih baik. Mobil-mobil yang telah berhasil diciptakan hanyalah hasil dari sebuah proses besar. Untuk itulah, Toyota mengajari semua karyawannya bagaimana untuk melakukan peningkatan pada proses.
Mengenai arti sebuah proses, John Shook, seorang mantan karyawan Toyota, yang kemudian menjadi CEO and Chairman Lean Enterprise Institute mengatakan sebuah pendapat yang dalam dan sarat akan pelajaran untuk kita semua:
[cpm_adm id=”10097″ show_desc=”no” size=”medium” align=”right”]
“Dalam Toyota, tidak pernah ada tujuan, karena tujuan berarti selalu memiliki garis akhir, dan dalam hal ini, juga tidak ada garis finish. Setelah mereka menyadari bahwa proses ini merupakan suatu proses internal, mereka akan melakukan pekerjaan secara lebih baik lagi, dan dari waktu ke waktu perbaikan tersebut juga akan meningkat, dan ini merupakan definisi terbaik dari bekerja.” ***