Malaysia Airlines mengalami dua kali kecelakaan fatal selama 68 tahun periode operasionalnya. Pesawat Malaysia Airlines MH370 yang melayani rute Kuala Lumpur menuju Beijing hilang pada 8 Maret 2014 lalu, dan pada 17 Juli 2014 ini pesawat MH17 yang melayani rute Amsterdam – Kuala Lumpur ditembak jatuh di zona perang Ukraina. Keduanya tidak menyisakan korban selamat. Dua bencana penerbangan ini jelas menodai reputasi maskapai asal negeri jiran tersebut.

Sangat langka satu maskapai tertimpa dua bencana dalam periode waktu yang singkat. Hal ini juga yang dikatakan presiden organisasi berita penerbangan Airchive, Chris Sloan seperti dilansir Business Insider, Jumat (25/7/2014).

Faktor keamanan dan keselamatan penumpang menjadi isu penting pasca insiden penerbangan yang dialami Malaysia Airlines. Terlepas dari apakah MH17 benar-benar ditembak jatuh oleh milisi pro Rusia, insiden ini telah memakan korban jiwa sebanyak 298 orang yang ada di dalam pesawat.

Dengan dua insiden penerbangan yang terjadi dalam waktu berdekatan ini, reputasi Malaysia Airlines sebagai salah satu maskapai teraman seolah luluh lantak. Kinerja keuangan maskapai suram, padahal Pemerintah Malaysia menjadi pemegang saham mayoritas melalui perusahaan induknya, Penerbangan Malaysia Berhad.

Malaysia Airlines juga tidak mungkin meraup laba dalam waktu dekat. Rebranding, nasionalisasi, dan merger tampaknya menjadi pilihan Malaysia Airlines menata masa depan, menyelamatkan kepercayaan konsumen, dan membalikkan keadaan.

Berikut beberapa cara menyelamatkan Malaysia Airlines seperti dilansir Kompas.com:

“Rebranding”

Sebuah solusi potensial hanyalah mengubah citra maskapai. Mengubah perusahaan dengan peluncuran logo baru. Strategi ini berhasil baik untuk ValuJet dan Swissair, meskipun dalam keadaan yang berbeda.

Pada saat rebranding, ValuJet adalah sebuah maskapai penerbangan dengan 15 armada yang mulai menua, jet jarak pendek seri DC-9 / MD – 80. Malaysia Airlines, di sisi lain, berusia hampir 70 tahun, dengan armada 100 pesawat, mulai dari Boeing 737 sampai Airbus A380.

Baca juga  KAI Berkomitmen untuk Capai Zero Net Emission

Sebagai flag carrier Malaysia, maskapai ini juga merupakan simbol identitas nasional, sebagai duta terbang negara. Rebranding Swissair juga menawarkan beberapa parallel. Swissair, dikenal dengan layanan berkualitas tinggi dan kinerja keuangan yang kuat, disebut sebagai “bank terbang” selama bertahun-tahun. Namun, pada akhir 1990-an, setelah satu dekade pengambilan keputusan keuangan yang buruk, maskapai penerbangan nasional Swiss ini menghadapi utang besar.

Situasi keuangan suram diperparah oleh kecelakaan penerbangan 111 di lepas pantai Nova Scotia pada tahun 1998. Pada tahun 2001, perusahaan mengumumkan harus melikuidasi aset-asetnya. SWISS International Airlines muncul, dan sejak itu telah dinilai sebagai salah satu yang terbaik di dunia. Keberhasilan SWISS menunjukkan sangat mungkin mengubah citra flag carrier dan memulihkan finansial.

Namun, Swiss memiliki dua keuntungan yang tidak dimiliki Malaysia Airlines, yakni indeks kepercayaan konsumen, serta tradisi penerbangan. Kepercayaan konsumen Swissair tidak fatal ternoda oleh masalah perusahaan, dan tradisi penerbangan Swiss juga mapan.

Nasionalisasi

Menurut Sloan, mungkin saja pemerintah Malaysia tidak hanya mengucurkan dana, tetapi juga menasionalisasi Malaysia Airlines. Tidak ada negara yang ingin kehilangan seperti simbol internasional terkemuka pada saat jatuh.

Nasionalisasi bisa memberikan maskapai kepastian finansial untuk sementara waktu, sembari maskapai menjalankan perubahan untuk kelangsungan hidup jangka panjang. Pada tahun 2001, Pemerintah Selandia Baru menasionalisasi Air New Zaeland dan menyuntikkan lebih dari 700 juta dollar AS ke perusahaan, setelah rencana merger gagal.

Nasionalisasi membuat Air New Zaeland melakukan perubahan drastis dalam hotel bisnis. Akhirnya, maskapai penerbangan berhasil mencetak keuntungan.

Merger

Pilihan lain untuk Malaysia Airlines adalah untuk merger. Sebulan sebelum kecelakaan MH17, bermunculan rumor soal minat Etihad Airways mengakuisisi saham maskapai. Namun, karena kecelakaan itu, maskapai berbasis Abu Dhabi itu telah benar-benar menghapus rumor.

Baca juga  Actions speak louder than words, ubah idemu jadi aksi nyata

Dalam 15 tahun terakhir, CEO Tony Fernandes telah membuat AirAsia mengalami pertumbuhan pesat. Sebagian besar pertumbuhan eksplosif dengan membelli pesaing regional yang lebih mapan. Sekarang, Fernandes ingin melompat ke dalam permainan jarak jauh dengan merek, AirAsiaX.

Bahkan, maskapai ini telah membeli 50 pesawat jarak jauh Airbus A330neo pada bulan ini di Farnborough Airshow. Untuk menyingkirkan pesaing lokal dan mengingatkan operasi benua, AirAsia mungkin bersedia untuk mengambil aset internasional Malaysia Airlines dengan harga wajar.

Menurut Sloan, tidak keterlaluan bagi maskapai lebih muda untuk mengakuisisi yang lebih besar dan berskala internasional. Pada tahun 2007, Brasil Gol Airlines membeli sisa-sisa maskapai nasional negara yang bangkrut, Varig. Setelah merger, Varig sekarang menjadi maskapai internasional terkemuka Brasil, beroperasi sebagai perpanjangan tangan Gol Airlines.***RR/RW