Seperti semua hal yang ada di dunia, sistem Lean telah eksis jauh sebelum ia memiliki nama. Secara bahasa, Lean dalam Bahasa Inggris berarti “ramping” atau “lebih sedikit lemak”. Tapi yang kita bicarakan disini adalah Lean yang merujuk kepada sistem produksi revolusioner yang dijalankan oleh Toyota. Sistem produksi inilah yang dikatakan menjadi “rahasia” bagi kebesaran manufaktur mobil tersebut.
Sebuah artikel dalam rk2blog.com membahas asal kata etimologis dari istilah “Lean” sendiri, yang menurut penulis perlu dikemukakan disini untuk menghindarkan kita dari kesalah-pahaman dan miskonsepsi yang mungkin muncul jika kita menemukan asal kata “Lean” tapi belum mengetahui penjelasan yang melatar-belakanginya. Artikel tersebut mengedepankan ‘penemuan’ kata “Lean” oleh John Krafcik pada 1988 dalam artikel yang ia tulis untuk Sloan Management Review, berjudul “Triumph of the lean production system”.
Pada masa awal karir akademiknya, Krafcik belum menggunakan kata Lean. Pada beberapa tulisan lamanya, seperti paper “Learning from NUMMI” (1986), sebuah paper internal untuk MIT International Motor Vehicle Program, hingga tesis masternya pada 1988, ia belum menyebutnya “Lean”. Ia menyebut sistem produksi yang dijalankan Toyota dan beberapa manufaktur Jepang lainnya sebagai sistem “fragile” (rapuh). Lalu kapan dan mengapa Krafcik mengubah kata fragile menjadi lean?
Sistem yang Rapuh
Dalam buku The Machine that Changed the World, James Womack menggunakan kata fragile hanya satu kali:
“…sistem produksi Lean itu fragile (rapuh). Produksi massal telah dirancang dengan buffer di segala sisi – inventori ekstra, tempat ekstra, pekerja ekstra – untuk memenuhi fungsinya. Kalaupun part tidak diterima pada waktunya, atau kalaupun ada banyak karyawan yang sakit dalam satu hari atau salah satu dari mereka gagal mendeteksi masalah sebelum produksi massal dilakukan, sistem akan tetap berjalan.”
Kesan pertama yang umumnya kita rasakan ketika mendengar kata “fragile” umumnya bukanlah kesan yang inspiratif; mungkin cenderung negatif. Namun keputusan Krafcik ketika menggunakan kata tersebut bukanlah sesuatu yang tidak masuk akal. Dalam beberapa paper lamanya, ia telah menggambarkan perbedaan antara sistem manufaktur yang “robust” (kuat) dan yang fragile.
Dalam papernya tersebut, Krafcik mengemukakan tentang robust manufacturing, yang dipraktekkan oleh General Motors dan beberapa manufaktur lainnya, sebagai sistem yang ditandai oleh karakter berupa buffer yang besar dalam stok inventori, produksi yang berjalan dalam waktu lama diantara die changes, area pabrik yang luas dan tingkat spesialisasi yang tinggi antara para karyawan pabrik. Intinya, robust menufacturing memiliki banyak “cadangan lemak”, karakter yang tentu saja tidak dimiliki lean, atau fragile manufacturing.
Sistem Toyota memang terasa “rapuh”. Inventori didatangkan tepat ketika diperlukan (just in time). Artinya, jika ada keterlambatan pengiriman atau batch suku cadang yang buruk, maka aktifitas produksi akan terhenti. Untuk membuat sistem bekerja dengan baik, maka harus ada fleksibilitas dari sisi pekerja pabrik. Fleksibilitas membutuhkan investasi dan investasi bisa saja hilang ketika terjadi penurunan ekonomi dan tekanan untuk melakukan PHK.
Tentu saja, sebuah sistem yang baik tidak akan memiliki kesan yang baik jika dinamai dengan kata berkonotasi negatif. Untuk alasan inilah, Krafcik mengganti kata fragile menjadi lean. Tanpa re-branding ini, mungkin akan sulit bagi masyarakat global untuk menerima kata fragile, walaupun kata tersebut sangat representatif dan akurat.***