SHIFT SSCX alignment pacu jalur

Akhir bulan Agustus adalah saat paling meriah di Sungai Kuantan di Riau. Saat itulah sebuah festival nasional Pacu Jalur Taluk Kuantan dilaksanakan. Pacu Jalur adalah jenis olahraga perahu dayung tradisional Riau, dengan jumlah pendayung berkisar antara 50 hingga 60 orang, tergantung panjangnya perahu kayu.

Menariknya, walaupun terdapat begitu banyak pendayung, perahu tetap mampu berjalan lurus sesuai tujuannya. Kedua, cara pendayung memainkan dayungnya begitu seirama dan sinkron sehingga laju perahu mulus dan lancar.

Untuk membawa perahu tersebut melaju hingga tujuan, masing-masing pendayung memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing. Setiap perahu memiliki anggota tim yang disebut “Anak Pacu”, yang terdiri atas “Tukang Kayu”, “Tukang Concang” (komandan atau pemberi aba-aba), “Tukang Pinggang” (juru mudi), “Tukang Onjai” (pemberi irama di bagian kemudi dengan cara menggoyang-goyangkan badan), dan “Tukang Tari” (yang membantu Tukang Onjai dalam memberi tekanan yang seimbang, agar Jalur dapat berjungkat-jungkit secara teratur dan berirama).

Stabilnya laju dan percepatan perahu dapat terjaga karena kemampuan kerjasama yang sinkron dari masing-masing Anak Pacu. Tidak ada pelanggaran peran, namun semua orang bergerak menuju tujuan yang sama.Kemampuan sinergis dan kesadaran akan peran masing-masing anggota sangat dibutuhkan disini.

Tradisi Pacu Jalur mencerminkan pentingnya sinergi dalam setiap aktivitas tim, seperti dalam organisasi. Dengan adanya sinergi, secara bersama-sama tim akan memperoleh hasil yang optimal, terutama di dalam proses implementasi strategi. Namun di “dunia nyata”, menciptakan sinergi dengan penyelarasan, atau bahasa kerennya alignment, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi di organisasi yang kompleks, dimana berbagai kepentingan berbenturan dan pihak-pihak terkait seringkali terjebak dalam silo-silo (fungsi masing-masing). Padahal, dunia ini terus berubah, mengalami turbulensi, dan paradoks bermunculan dimana-mana.

Baca juga  Speak at OPEXCON 2024, Your Insights on Operational Excellence Needed!

Menurut pakar manajemen Rhenald Kasali melalui kolomnya di Harian Kompas (20/7/10), untuk menghadapi paradoks, kita harus lebih luwes dan adaptif. Lihat saja Cina dan Vietnam yang berpaham sosialis, tapi tetap menerapkan ekonomi pasar secara luas.

Mengapa Perlu Membangun Alignment?

Dalam kamus, alignment berarti penjajaran, penertiban barisan, penyelarasan. Dalam manajemen, Rhenald menyebutnya penyatuan antara tindakan dan pikiran. Seperti halnya negara, perusahaan bisa merugi, bahkan gulung tikar, bukan karena kekurangan orang pintar. Banyak organisasi yang gagal karena terlalu banyak memiliki orang pintar. Lihat saja tim nasional sepakbola Inggris yang bertaburan bintang, namun gagal menjuarai Piala Dunia sejak 1970. Lantas, mengapa mereka gagal?

Orang-orang pintar yang perannya tidak diselaraskan akan terhanyut dalam pikiran dan pekerjaan masing-masing. Begitu juga yang terjadi pada departemen dan unit-unit kerja di sebuah negara atau perusahaan. Kegiatan sama dengan nama yang berbeda-beda, saling overlap, yang dikerjakan oleh pelaku yang berbeda-beda jelas merupakan pemborosan. Masing-masing terjebak dalam silo (fungsi) yang tidak saling dihubungkan.

Jebakan silo dan asumsi hanya akan mempersempit ruang gerak. Hal ini, dalam konteks negara, sangat disadari oleh negara-negara kesejahteraan baru, seperti Singapura, Vietnam, India, Cina, Malaysia dan Rusia. Mereka amat menyadari pentingnya alignment, dimana semua elemen terpimpin dalam satu visi, menjaga peran tetap efektif sambil saling melengkapi dalam satu jajaran. Bayangkan jika sistem pemerintahan suatu negara misaligned, peran-peran tertumpuk dan tercampur-aduk, sementara sinergi antar elemen-elemen pemerintahan tersendat. Rakyat-pun jadi korban.

Alignment dalam Organisasi

Kita yang tidak duduk di parlemen memang pantas bersyukur, karena perwujudan alignment di level perusahaan tidak sekompleks di level negara, walaupun tetap tidak bisa dibilang mudah dan tetap penting. Untuk mengetahui pentingnya alignment dalam suatu entitas organisasi, coba tanyakan kepada para frequent flyer yang hampir setiap minggu menggunakan layanan dan fasilitas bandara. Tanyakan, apakah mereka sudah puas?

Baca juga  7 Fakta Menarik dari Metode Inovasi Design Thinking

Dalam hal ini, Rhenald mengedepankan bandara sebagai contoh, dimana banyak pihak lintas sektoral yang terlibat secara rutin dalam operasional sehari-harinya. Air Traffic Control dari Kementrian Perhubungan, perusahaan penerbangan dan pengelola bandara dari Kementrian BUMN,satuan keamanan dari Polri, bagian imigrasi dari Kementerian Hukum dan HAM, fiskal dan cukai dari Kementrian Keuangan, karantina dari Kementerian Pertanian, serta satuan militer dari Kementerian Pertahanan. Ada pula “atribut” pariwisata dan pelaku usaha kecil dari UMKM.

Interaksi kompleks namun tidak menyatu dari berbagai elemen tersebut akan terasa ketika anda baru mendarat dari luar negeri. Sistem yang semrawut, tumpang tindih, petugas yang kadang tidak ada di posnya, parkir sembarangan, petugas imigrasi judes, kebiasaan bekerja bawah komando, dan seterusnya. Di lapangan, petugas bekerja sendiri-sendiri dengan komando dari atasan masing-masing. Ternyata, mereka tidak dipisahkan dari kesatuannya untuk menjadi satu kekuatan terkoordinasi untuk tujuan bersama. Alih-alih sebagai suatu badan yang terintegrasi, mereka bekerja tetap pada kultur, prosedur dan kebijakan masing-masing.

Ketika terjadi kebingungan, khususnya dari pengguna bandara, mereka saling menyalahkan.Pekerjaan satu entitas bisa jadi terhambat oleh entitas lainnya; kebijakan satu kesatuan terbentur dengan kesatuan lainnya. Mungkin pengguna bandara sebagai pelanggan tidak melihat kesemrawutan sistem dari luar, namun tetap saja, dampak dari misalignment akan dirasakan langsung oleh pelanggan.

Contoh klasik lain yang sering terjadi dalam perusahaan juga menggambarkan hal yang kurang lebih sama. Unit operasi menganggap kolega-koleganya di unit penjualan cenderung over-promise. Di sisi lain, unit penjualan menganggap kolega-kolega di unit operasi cenderung under-deliver. Persepsi semacam ini akan muncul ketika masing-masing unit kerja menjadikan target di unitnya masing-masing sebagai acuan tunggal tanpa memikirkan kapasitas unit yang lain. Misalignment semacam ini diperparah oleh kealpaan sasaran strategis pada level organisasi yang dapat menjadi rujukan untuk kolaborasi antar unit kerja.Disinipelanggan dan karyawan yang jadi korban.

Baca juga  Bagaimana cara kerja pemimpin yang agile?

Labovitz dan Rosanky pada bukunya The Power of Alignment (1997) menyebut misalignment sebagai sindrom lidah garpu. Seperti yang kita ketahui, lidah-lidah garpu saling terpisah satu sama lain, tidak mengerucut, hidup dalam silo masing-masing. Karena alignment bersifat vertikal-horizontal, misalignment di level menengah hingga akar rumput adalah cermin bagaimana level top management bekerja.

Menurut Rhenald, misalignment menghalangi perusahaan untuk memecahkan masalah-masalah besar dengan dampak sistematik, inovatif dan bersifat terobosan. Perusahaan hanya akan mampu memecahkan masalah kecil yang reaktif karena kekuatan besar tidak terkonsolidasi dengan baik. Ibaratnya mobil yang komponen-komponennya tidak berjalan dengan selaras, perusahaan yang misaligned akan menimbulkan masalah serius jika tidak segera diperbaiki. Perusahaan akan sulit diarahkan dan tidak mampu merespon inisiatif-inisiatif perubahan, apalagi melakukan improvement.

Buruknya alignment merupakan cermin dari buruknya kepemimpinan. Dalam konsep penyelarasan, seorang pemimpin seharusnya mengemban tiga tugas: memimpin ke atas, ke bawah dan ke samping. Memimpin ke atas dan ke bawah adalah bagian dari vertical alignment, dan memimpin ke samping adalah bagian dari horizontal alignment. Kepemimpinan yang lemah justru akan menghambat terciptanya alignment.***