Dunia HR berhasil menciptakan kemajuan besar, namun pengembangan kepemimpinan nampaknya masih menjadi tantangan. Saat ini, kepemimpinan yang hebat masih jarang ditemui. Kontributor Forbes, Rajeev Peshawaria dalam artikelnya mengatakan bahwa pemahaman yang salah tentang kata “kepemimpinan” itu sendiri yang menjadi penyebab utama masalah ini. Menurut Rajeev, ada tiga kesalahpahaman yang terjadi:

  1. Kepemimpinan adalah tentang mempengaruhi orang lain

Saat ini, kita sepakat dengan kepemimpinan adalah tentang apa yang perlu dilakukan seorang pemimpin terhadap orang lain. Benarkah itu? Jika kita melihat pemimpin kelas dunia seperti Mahatma Gandhi dan Martin Luther King Jr., mereka tidak melakukan apa-apa kepada orang lain. Apa yang mereka lakukan adalah menetapkan tujuan yang sangat jelas untuk diri mereka sendiri, dan memotivasi dirinya untuk berjuang tanpa henti mencapai tujuan mereka. Dengan melakukan itu, mereka menjadi panutan yang kuat, dan kemudian memotivasi orang lain untuk bergabung dalam upaya tersebut.

2. Kepemimpinan adalah tentang memiliki wewenang

Kita secara otomatis mengasumsikan bahwa orang dengan kekuatan formal tertinggi sebagai pemimpin. Tetapi benarkan orang yang paling kuat tersebut selalu memimpin? Apakah memimpin itu tentang posisi yang ditempati seseorang, atau tentang apa yang dilakukan seseorang?

Kesalahpahaman kedua ini berasal dari kesalahpahaman pertama di atas. Ketika kita percaya kepemimpinan adalah tentang mempengaruhi orang lain untuk menyelesaikan sesuatu, maka wajar jika kita menilai orang dengan otoritas paling formal adalah pemimpin.

Sementara, Kepemimpinan yang hebat sedikit hubungannya dengan seberapa besar otoritas formal yang dimiliki seseorang. Namun, kebanyakan orang mengeluh karena tidak memiliki wewenang yang cukup untuk membuat perbedaan. Gandhi adalah satu dari beberapa kepemimpinan yang menginspirasi, bukan dengan kekuasaan tetapi dengan keyakinan kuat mereka pada serangkaian nilai yang tidak pernah mereka kompromikan.

Baca juga  OPEXCON: Mendorong Budaya Inovasi di Indonesia Melalui Pengembangan Skill dan Kompetensi

3. Followership = Leadership

Beberapa perusahaan mengkaitkan hasil survei keterlibatan karyawan dengan bonus dan promosi. Maksudnya tentu baik, perusahaan selalu ingin manajernya menjadi pemimpin yang baik, untuk itu mereka harus mengukur efektivitas kepemimpinan para manajer dan menghargainya. Benarkah ini cara terbaik? Salah!  Jika bonus dan promosi bergantung dengan hasil survei keterlibatan, maka para manajer akan menghindari membuat keputusan yang sulit yang diperlukan perusahaan. Masalah ini akan berlanjut ketika Anda harus mempresentasikan rencana strategi baru dan melibatkan Dewan untuk persetujuan. Pertanyaan pertama yang biasanya diajukan Dewan adalah: Apakah ini praktik terbaik yang dikonfirmasi? Berapa banyak orang lain yang telah membuktikan model ini di industri kita? Jika Anda dapat memberikan contoh keberhasilan lain, Dewan akan cepat menyetujui rencana tersebut.Jika tidak, kemungkinan mereka akan berpikir ulang. Ya, mengikuti praktik terbaik adalah konsep yang paling aman. Tetapi, juara masa depan tidak akan bersaing sengit di pasar yang sudah ada, mereka akan keluar dari persaingan dan membangun bisnis yang unik.

Sumber : Forbes