Toyota Production System (TPS) telah dibangun diatas pengalaman continuous improvement selama puluhan tahun, dengan hasil yang telah terbukti. Sistem ini berdiri diatas dua pondasi, yaitu Jidoka dan Just In Time (JIT).
Toyota Motor Corporation merupakan produsen mobil multinasional yang berkantor pusat di Toyota Aichi, Jepang. Mungkin banyak yang tidak tahu bahwa Toyota berakar dari sebuah industri kecil yang memproduksi mesin tenun. Adalah Sakichi Toyoda, yang memulai bisnis mesin tenunnya pada 1896.
Pada 1950-an, Eiji Toyoda, Direktur Toyota masa itu, berkelana ke negeri Paman Sam untuk mencari inspirasi. Saat berkunjung ke pabrik Ford, dia terperangah. Ford mampu memproduksi 8.000 mobil per hari. Padahal, Toyota baru bisa menghasilkan total 2.500 mobil.
Tak hanya itu. Jika, kita kembali mengingat bagaimana lahirnya konsep Lean Manufacturing, sang Direktur Eiji juga menemukan ide saat berjalan-jalan ke supermarket di AS. Sepulangnya ke Jepang, dia dan tim suksesnya segera merajut ide-ide tersebut bersama filosofi Jepang, “Monozukuri”.
Yang pada akhirnya, lahirlah sebuah konsep lean production bergaya Jepang. Konsep yang bertujuan untuk mengeliminasi pemborosan-pemborosan dalam proses produksi itu kemudian dikenal dengan nama Toyota Production System (TPS).
Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) sebagai produsen mobil-mobil dengan merek dagang Toyota, ternyata menerapkan konsep TPS dengan pemahaman yang cukup unik.
Seperti dikutip dari hasil wawancara KOMPAS.com dengan Yui Hastoro, Technical Director PT. TMMIN. Yui mengatakan ada dua pilar utama yang perlu dicermati dalam TPS, yaitu Just in Time (JIT) dan Jidoka. JIT artinya, perusahaan hanya memproduksi jenis produk yang dibutuhkan, ketika dibutuhkan, dan sesuai jumlah kebutuhan.
“Jadi, tidak akan ada stok berlebih. Apa yang kita buat, pasti akan langsung diserap oleh konsumen,” kata Yui Hastoro.
Yui melanjutkan, dalam JIT harus ada kestabilan jumlah pemesanan produk. Produksi tidak boleh seperti cara kerja roller coaster, tiba-tiba tinggi, lalu seketika rendah.
“Tidak boleh bergejolak terlalu besar. Kita maksimalkan 10 persen, karena itu malah bisa mengganggu man power. Semua proses produksi sudah dirancang sedemikian rupa untuk memenuhi jumlah pesanan. Kalau produksi terlalu fluktuatif, akan banyak pemborosan dan ketidakseimbangan beban kerja,” tutur Yui.
Pilar kedua adalah konsep Jidoka yang berkaitan erat dengan kualitas produk. Selama proses produksi, harus dipastikan tidak ada produk cacat. Jika kejanggalan atau kesalahan terjadi, proses produksi harus segera dihentikan.
“Hal pertama paling penting yang harus dibangun dalam Jidoka adalah mind set karyawan di pabrik. Ini memang bagian yang paling sulit,” ujarnya.
Semua karyawan Toyota harus memiliki pemahaman untuk menghasilkan produk berkualitas baik, tidak membiarkan terjadi cacat produk, atau menghasilkan produk cacat. Hal ini terlihat sederhana, namun sangat sulit diaplikasikan di lapangan.
Yui mengatakan, terkadang karyawan memilih memecahkan permasalahan sendiri ketimbang melaporkan. Sementara itu, yang lainnya terlalu takut untuk melapor.
“Stop, call, and wait. Ketika terjadi masalah, mereka harus terbiasa menghentikan produksi dan memanggil supervisor-nya. Nah, atasan pun tidak boleh memarahi, tapi membantu menyelesaikan masalah,” ujar Yui.
Selain pola pikir, Toyota pun telah melakukan pencegahan cacat produk dengan melakukan pembedaan desain. Misalnya, Toyota merancang mesin dan komponen khusus yang hanya dapat dipasangkan ke jenis mobil tertentu.
“Misalnya komponen A hanya untuk produk sedan, maka komponen itu tidak bisa dipasangkan ke model mobil lain. Jadi kesalahan operator di lapangan bisa dicegah,” jelas Yui.***