Dalam pengambilan keputusan, diperlukan analisa dan pemahaman mendalam akan keadaan pada saat ini.

Proses pengambilan keputusan adalah tentang mengenali value dan membuat asumsi. Baik itu menentukan tempat berlibur, membeli perangkat elektronik, hingga menentukan kebijakan operasional, semuanya adalah mengenai proses mendeteksi kelebihan dan keuntungan yang akan didapat dalam sebuah keputusan (dan memperhitungkan apakah biayanya layak untuk dikeluarkan). Anda akan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan menjadi hasil dari keputusan yang Anda ambil.

Pengambilan keputusan di level perusahaan dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu tersentralisasi dan terdesentralisasi. Perbedaan dari keduanya adalah:

  • Pengambilan keputusan tersentralisasi: dilakukan oleh level manajemen / decision maker di perusahaan dan keputusan yang diambil disesuaikan dengan arah dan perencanaan yang telah ditetapkan untuk organisasi. Misalnya: menentukan employee benefit atau brand image.
  • Pengambilan keputusan terdesentralisasi: dilakukan oleh individu atau organisasi subordinat yang memang telah diberi keleluasaan dalam menentukan. Misalnya: menentukan vendor lokal atau mengatur effort yang akan diberikan untuk program continuous improvement.

Keputusan mengenai apakah sebuah keputusan harus diambil dengan cara tersentralisasi atau terdesentralisasi bergantung kepada jenis keputusan dan area yang memerlukan pengambilan keputusan. Hal ini harus ditentukan secara seksama oleh organisasi.

Pengambilan Keputusan dalam Inisiatif Improvement

Salah satu domain yang paling penting, yang harus menjadi perhatian, adalah pengambilan keputusan. Namun sayangnya, aspek ini seringkali luput dari pengelihatan. Padahal, siapa, dimana, kapan, dan bagaimana sebuah keputusan diambil akan sangat menentukan langkah fundamental yang akan diambil, yang tentunya memberikan pengaruh besar kepada organisasi.

Tantangan dalam pengambilan keputusan muncul dalam berbagai bentuk dan rupa. Misalnya, ambiguitas dalam pengambilan keputusan akan menimbulkan banyak penundaan (delay) dalam pekerjaan, dan juga rework. Pengambilan keputusan yang tidak konsisten akan menimbulkan kebingungan, dan sebagainya.

Baca juga  Efisiensi vs. Efektivitas: Prioritas Manakah yang Lebih Utama?

Jamie Flinchbaugh, seorang pakar dan praktisi Lean Enterprise, memiliki kiat-kiat khusus yang ia bagi kepada para pengambil keputusan di perusahaan. Empat cara ini akan mempermudah seseorang dalam mengambil keputusan terkait inisiatif perbaikan dalam organisasi.

1. Lakukan observasi awal

Kualitas keputusan yang kita ambil sangat berkaitan dengan pemahaman kita akan keadaan yang terjadi saat ini. Observasi secara langsung merupakan dasar dari lean thinking. Pengambil keputusan sangat memahami keadaan pada saat ini sebelum mengambil keputusan penting.

Flinchbaugh pernah memiliki pengalaman dengan perusahaan yang menerapkan Lean, yang memberlakukan satu aturan: jika Anda belum melihat kondisi saat ini, Anda tidak punya hak untuk beropini dalam diskusi apapun. Kedengarannya memang kasar, namun peraturan ini akan mencegah timbulnya banyak opini yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan, yang akan bercampur dengan fakta-fakta. Dengan cara ini perusahaan tersebut mampu memperbaiki kualitas pengambilan keputusan dan memperpendek waktu yang diperlukan untuk berdiskusi.

2. Buatlah keputusan yang paling dekat dengan area yang membutuhkan

Paham pemberdayaan karyawan yang ada dalam konsep Lean kadang kala disalah-artikan. Kesalahpahaman tersebut mungkin akan mengambil wujud sebagai sebuah kebijakan yang memungkinkan pengambilan keputusan pada level serendah mungkin. Kebijakan tersebut sesungguhnya bias dengan konsepsi pemberdayaan karyawan, dan dapat menjerumuskan organisasi kedalam level performa yang salah, yaitu Abdiksi.

Abdiksi adalah menyerahkan tanggung jawab pengambilan keputusan kepada sumber daya yang berada di lini depan. Hal ini mungkin baik jika mereka yang mengambil keputusan adalah orang yang benar-benar tepat. Namun, jika tidak, bisa jadi bencana yang akan terjadi. Untuk mencegahnya, Flinchbaugh menyarankan bahwa pengambilan keputusan sebaiknya dilakukan di titik terdekat dengan area yang membutuhkan keputusan tersebut. Setiap orang yang bekerja paling dekat dengan aktifitas / work process yang membutuhkan keputusanlah yang paling sesuai untuk mengambil keputusan tersebut. Mengapa? Karena orang inilah yang paling mengerti soal situasi pada saat ini secara riil dan kemungkinan besar akan membuahkan keputusan yang efektif.

Baca juga  Tidak perlu bingung, ini beda value add dengan value enabler

3. Definisikan hak dan ekspektasi pengambilan keputusan

Banyak organisasi yang gagal mengambil keputusan karena mereka tidak tahu siapa yang harus mengambil keputusan. Terdengar absurd? Tapi ini sering terjadi! Tanpa definisi yang jelas mengenai “siapa” yang harus mengambil keputusan, keputusan diambil tanpa pertanggung jawaban dan keputusan tersebut seringkali dibuat sedemikian rupa agar terhindar dari resiko. Atau, sering juga terjadi kegagalan dalam mengambil keputusan karena berpikir “jika saya tidak mengambil keputusan, orang lain akan melakukannya”.

Flinchbaugh mengambil contoh dari sebuah perusahaan swasta yang sangat sukses, Koch Industries, Inc. Mereka menciptakan definisi mengenai “hak pengambilan keputusan”. Isinya kurang lebih adalah: “Jika Anda merupakan pengambil keputusan, maka Anda-lah yang harus memutuskan, bukan orang lain”. Bersamaan dengan hak tersebut, menyusul juga tanggung jawab akan keputusan yang telah diambil. Salah satu dari tanggung jawab tersebut yaitu challenge process. Challenge proces bunyinya: “Jika Anda berhak untuk mengambil keputusan final, maka Anda diharapkan untuk mencari masukan dari atasan, rekan sejawat, maupun tim Anda. Tanggung jawab mereka adalah memberi Anda bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan (dimana ini adalah sebuah tantangan tersendiri bagi pengambil keputusan).

4. Gunakan standard untuk memanfaatkan pengalaman yang ada

Anda mungkin telah paham bahwa pengambilan keputusan yang baik adalah sesuatu yang sangat penting namun sulit dilaksanakan. Keputusan yang baik adalah hasil dari pengalaman, skill dan penilaian yang tajam. Jika ketiga hal dalam diri sang pengambil keputusan belum maksimal, ia tetap bisa menjalankan tugasnya dengan bantuan beberapa tool, seperti misalnya sebuah checklist sederhana. Checklist ini akan menjabarkan pengalaman dengan kode-kode tertentu, yang akan membantu memastikan proses pengambilan keputusan didukung oleh pengetahuan dan penilaian yang tajam. Checklist bukanlah substitusi bagi skill dan pengetahuan, tapi ia berperan untuk memaksimalkan utilisasi dari pengetahuan yang ada.

Baca juga  Belajar Inovasi dari Kesuksesan Icons K-Pop BTS

Dapat disimpulkan bahwa, untuk mengambil keputusan yang tepat dan terbaik, sang pengambil keputusan harus memiliki pengetahuan mendalam mengenai keadaan saat ini di area yang memerlukan pengambilan keputusan. Yang paling layak untuk mengambil keputusan adalah mereka yang berada paling dekat dengan area tersebut dalam keseharian. Sang pengambil keputusan juga harus mengadakan brainstorming dengan atasan, rekan sejawat dan juga timnya sebelum memutuskan. Dengan demikian, keputusan yang diambil merupakan sebuah output yang matang dan berkualitas dari sebuah proses yang baik.