“It is not enough to be busy; so are the ants. The question is: What are we busy about?” – Henry David Thoreau
Kolaborasi dan komunikasi memegang peranan penting bagi kemajuan organisasi. Namun, banyak penelitian menemukan bahwa masih banyak organisasi yang masih memiliki silo thinking, yang mana organisasi bekerja dengan departemen-departemen yang sibuk dengan acara internalnya (masing-masing). Terlebih, saat ini masih banyak organisasi yang menetapkan ukuran kinerja dan besaran bonus berdasarkan kinerja departemen atau dari besar kontribusi anggota secara personal. Kenapa ini mengkhawatirkan? Karena hal ini dapat memicu terbentuknya mental “kami vs mereka”, yang jika dalam jangka panjang akan memperburuk kinerja antar departemen, bahkan memicupersaingan yang tidak sehat di internalorganisasi. Lebih parahnya, akan munculdominasi anggota-anggota yang inginmengejar eksistensi untuk dirinya sendiri. Inilah mengapa bisa merugikan organisasi secara keseluruhan.
Nah, untuk bisa selamat dari ancaman silo ini kita perlu yang namanya end to end process. Silo adalah pola pikir organisasi dimana anggota organisasi hanya melihat ke dalam dan menolak untuk berbagi informasi dan sumber daya dengan orang lain atau departemen lain dalam satu organisasi. Pola pikir ini mengakibatkan anggotanya kurang memahami peran mereka bagi keberhasilan organisasi secara keseluruhan sehingga tidak ada tanggungjawab satu sama lain apabila terjadi masalah dan malas dalam berkoordinasi. Apabila hal ini terus terjadi maka perusahaan akan mengalami permasalahan yang cukup kronis, masalahterus menumpuk dan membuat organisasi semakin jauh dari visi yang diusungnya.
Pemikiran silo menempatkan masalahsebagai milik per seorangan atau per departemen sehingga muncul pemikiranbahwa untuk menyelesaikannya tidak harus berurusan dengan orang lain atau departemen lain (ini biasanya berhubungan dengan masalah proses). Sebagai contoh dalam industri manufaktur, team produksi memutuskan mengubah beberapa bagian pemrosesan untuk mempercepat waktu. Mereka menghilangkan proses pemeriksaan mutu internal dalam proses review produk, karena merasa sebagai pihak tunggal yang bertanggungjawab perbaikan dilakukan tanpa konsultasi ke departemen lain. Akibatnya sejumlah produk mengalami kerusakan yang mengakibatkan terhambatnya keseluruhan proses danmenjadi kurang efisien.
Pemikiran silo juga bisa mengubah talent – talent cerdas perusahaan menjadi robot, mereka hanya bekerja sesuai dengan aktivitas rutin secara formal tanpa perlu merasa bertanggungjawab untukmeningkatkan kualitas atau mengurangi biaya selama proses produksi. Pemikiran silo juga menyebabkan kebodohan kolektif bahkan di sebuah organisasi yang mempunyai talent terbaik. Mereka semua tahu bahwa ada masalah terstruktur dan berdampak terhadap organisasi, masalahnya tidak ada yang melihat itu sebagai tanggungjawab mereka.
Berubah sekarang juga!
Pola pikir silo tidak muncul secara tidak sengaja juga bukan muncul karena kebetulan, sebagian besar organisasi berjalan dengan departemen-departemen yang terus berperang. Kita harus mengatasi kenyataan bahwa silo di organisasi muncul karena para pemimpinnya saling bertentangan, meskipun konflik dapat diselesaikan ini tetap berdampak (menjadi keresahan) bagi karyawan.
Banyak eksekutif yang masih mengabaikan in-efisiensi departemen di organisasinya. Akibatnya, mereka kekurangan solusi untuk hal-hal yang sifatnya lintas fungsi karena kurangnya pelatihan atau ketidakmampuan dari beberapa karyawan untuk bekerja sama dengan baik satu sama lain. Semua perilaku ini mungkin sebagai akibat dari mental silo, tetapi benarkah ini yang menjadi akar masalahnya? Asumsi-asumsi pada akhirnya akan menyebabkan kerugian jangka panjang bagi organisasi, juga menciptakan sinisme dalam tim. Adalah tanggungjawab para eksekutif untuk segera menyadari hal ini dan menciptakan solusi jangka panjang yang efektif yang dapat dieksekusi dan realistis.
Mau tahu solusi yang efektif dan mudah dieksekusi untuk menghilangkan silo? Temukan jawabannya hanya di shiftindonesia.com