Semua orang seringkali mengatakan hal tentang, “Kami telah melalui masa-masa sulit sebelumnya dan kali ini kami pun pasti akan berhasil melaluinya”. Masalahnya, pernyataan ini terkadang tidak lagi berlaku untuk beberapa masalah di organisasi.

Apakah inisiatif perubahan di organisasi selalu berjalan baik? Kami kira Anda akan menjawab, “Tidak!”. Mengapa? Karena membawa perubahan ke dalam organisasi mana pun merupakan pekerjaan yang sulit.

Orang-orang yang dipaksakan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan mereka dan mendukung seluruh gagasan Anda biasanya akan memberi lebih banyak masalah. Sehingga organisasi pun membutuhkan waktu cukup lama untuk merespons hal tersebut. Bahkan tidak sedikit organisasi memilih untuk hanya diam di tempat sementara dunia di sekitarnya berubah, mereka terlambat menyadari bahwa apa yang berhasil sebelumnya tidak akan berfungsi lagi saat ini.

Lalu apa yang paling dibutuhkan oleh organisasi seperti ini? Jawabannya adalah “revolusi”. Alec Pendleton, seorang praktisi perusahaan manufaktur di Akron, Ohio dalam artikelnya yang ditulis untuk industryweek menceritakan pengalamannya ketika terlibat dua organisasi – perusahaan manufaktur dan organisasi nirlaba, menurutnya kedua organisasi yang sangat berbeda ini memiliki banyak kesamaan.

Ketika di perusahaan manufaktur dia melihat adanya krisis penolakan, perusahaan yang sebelumnya memiliki posisi pasar dominan tersebut perlahan menyusut selama beberapa dekade. Perusahaan mungkin menganggap penyempitan ceruk pasar ini sebagai masalah utamanya sehingga tidak melakukan perubahan yang dibutuhkan dalam konteks sesungguhnya. Tenaga kerja yang “menua” sangat tahan terhadap perubahan, menolak ide-ide baru, dan menolak pemanufakturan modern. Sertifikasi yang dibutuhkan oleh karyawan juga dianggap sebagai pemborosan waktu dan uang. Sikap “kami selalu melakukan dengan cara ini” terus berlaku, sehingga membuat perusahaan semakin tertinggal jauh karena pelanggan sudah mulai melihat dunia dalam konteks yang lebih luas dan berbeda.

Organisasi nirlaba yang sudah mapan juga melakukan hal yang sama, dalam beberapa dekade sebelumnya mereka telah melakukan investasi besar untuk meningkatkan fasilitas, tetapi sekarang sudah tertinggal karena kota telah tumbuh dengan cepat, mereka pun terisolasi. Namun, anggota Dewan yang sudah lama disana memiliki kenangan indah tentang kesuksesan di masa lalu, dan memutuskan bahwa penurunan minat dan dukungan keuangan hanya sementara. Inilah masalahnya. Tidak lama, mereka pun menghadapi krisis eksistensi.

Menurut Alec, solusi untuk kedua masalah di atas adalah sama, yaitu kepemimpinan baru dan perubahan yang dipaksakan pada organisasi. Di perusahaan manufaktur, pabrik secara substansial dirombak dan dimodernisasi, sertifikasi kualitas diraih, dan membuka pasar baru. Selanjutnya, karyawan yang berada di perusahaan diberi pelatihan ekstensif. Sementara di organisasi nirlaba, seorang pemimpin baru didatangkan. Meskipun kepribadiannya kasar, dan terkesan ingin menyinggung mayoritas disana, saat krisis tiba dia berhasil membujuk mayoritas anggota Dewan melakukan perubahan yang diperlukan. Mereka menjual gedung, dan berkolaborasi dengan beberapa organisasi lain, dan kembali eksis bahkan mampu ekspansi ke pusat kota-kota yang berkembang pesat.

Pelajaran yang bisa diambil

Jika kita melihat kedua permasalahan di atas, kita bisa melihat gambar ini dalam krisis yang kita hadapi sehari-hari. Yaitu berhubungan dengan masalah karyawan yang tidak siap menerima perubahan dan gaya manajemen pemimpin baru.

Sampai disini kami ingin menekankan bahwa dari kedua cerita di atas kita bisa belajar bahwa kita semua harus bisa menyikapi perubahan dengan lebih siap. Revolusi sering diperlukan, dan hampir selalu sulit dan tidak menyenangkan. Tetapi penting untuk mengenali bahwa kesulitan dan ketidaknyamanan tidak harus menjadi realitas jangka panjang, tetapi bisa menjadi fase pertumbuhan jangka pendek. Apa yang paling Anda butuhkan disini adalah tim yang tepat untuk memulai revolusi bukan tim yang tepat untuk menyelesaikannya.