Efesiensi dan efektifitas sebagai prinsip utama mewujudkan keunggulan operasional, memiliki sejarah panjang dalam evolusi peradaban dunia. Negara, militer dan institusi pendidikan menjadi pioner, meletakkan pondasi lean dalam lapangan ekonomi-bisnis.
“Spartan, Ahooo!!! …” Raja Leonidas berseru kepada pasukannya membentuk formasi Palanx. Strategi militer tentara Sparta menggunakan pasukan infanteri bersenjatakan tombak panjang dan tameng berdiri erat, bergerak maju bersama-sama.
Serentak 300 tameng tentara Sparta berdentum membendung tebasan pedang, kapak dan gada pasukan Persia di sebuah celah sempit pantai Yunani, tebing Thermopylae. Akibatnya, ribuan tentara Persia di bawah daulat Xerxes kocar-kacir saat menjajal kokohnya formasi Palanx.
Adegan tersebut ada dalam kisah pertempuran Thermopylae 400 tahun sebelum masehi. Pertempuran kolosal yang berhasil menginspirasi Zack Snyder, film maker asal Amerika Serikat, menyutradarai sebuah film fantasi epik bertema perang “300” pada 2006 lalu. Meski di akhir cerita Raja Leonidas beserta 300 tentaranya gugur, terdapat pelajaran menarik terkait kekompakan tentara Sparta yang jumlahnya kalah jauh dibanding penyerbunya.
Kesuksesan pasukan kecil Leonidas menghalau invasi tentara Persia bisa dimaknai sebagai keberhasilan seorang pemimpin melakukan tata kelola organisasi. Berhasil memenangi sebuah pertempuran berarti sukses menerapkan prinsip-prinsip militer dengan baik dan benar. Di dalam potongan adegan Film “300”, formasi Palanx berhasil memberikan nilai tambah pada medan tempur, celah Thermopylae, yang secara alamiah sulit dilalui pasukan berjumlah besar.
Leonidas bersama 300 orang tentaranya mempraktikkan formasi Palanx dengan efektif, keunggulan berhasil dicapai dengan memanfaatkan tebing sempit sehingga memberikan kemenangan. Mematahkan ribuan serangan dengan sedikit pasukan. Pun, menghalau serbuan pasukan Persia secara efesien, berhasil mengubah kelemahan menjadi kekuatan dan tetap unggul meski kalah jumlah.
[cpm_adm id=”11784″ show_desc=”no” size=”medium” align=”left”]
Besar atau kecil pasukan bukan menjadi penentu kemenangan perang. Namun strategi dan taktik yang sesuai dengan kondisi menjadi yang utama. Sama halnya dengan strategi dalam persaingan bisnis. Jamak dijumpai strategi perang diterapkan sebagai strategi bisnis, memenangi persaingan bisnis dalam lapangan ekonomi produksi.
Transformasi strategi atau seni perang menjadi strategi bisnis berawal sedari Perang Dunia II berakhir. Landskap ekonomi internasional mengalami perubahaan saat dunia mulai memasuki era industrialisasi yang meningkatkan persaingan produksi. Strategi bisnis digunakan mendorong masyarakat internasional memulihkan sektor ekonomi, mengembalikan kesejahteran negara paca Perang Dunia II.
Amerika serikat menjadi negara yang gencar melakukan pemulihan ekonomi, terlebih karena sedari 1850 telah membangun jalur kereta api yang berhasil menarik investasi dan aliran modal. Selain itu negeri Paman Sam terus menyebarkan gagasan penting mengenai strategi bisnis ke seluruh dunia dengan mendirikan Harvard Bussines School pada 1908, yang selanjutnya sukses memproduksi manajer-manajer pelaksana administratif-strategis di berbagai perusahaan.
Salah satu pelopor manajemen untuk meningkatkan efesiensi industri di Amerika Serikat adalah Frederick Winslow Taylor (1856-1915). Taylor dikenal sebagai bapak manajemen ilmiah, pemimpin intelektual gerakan efesiensi. Sumbangsih Taylor dalam ilmu manajemen adalah penerapan prinsip metode ilmiah dalam menyelesaikan pekerjaan.
Bermula dari ketiadaan standar kerja di dalam perusahaan, Taylor mulai menerapkan pedoman metode ilmiah memaksimalkan hasil kerja. Pedoman efisiensi itu misalnya:
•Mengembangkan pendekatan keilmuan pada setiap unsur pekerjaan yang berguna menggantikan metode lama yang tidak pasti (bersifat untung-untungan).
•Memilih, melatih, mengajarkan serta mengembangkan pekerja melalui pendekatan ilmiah.
•Serius bekerjasama dengan para pekerja, memastikan semua pekerjaan dilakukan sesuai dengan prinsip keilmuan.
•Membagi, mendistribusikan pekerjaan dan tanggungjawab kerja merata antara manajemen dan para pekerja. Manajemen mengambil alih pekerjaan yang lebih sesuai ketimbang para pakerja.
Gagasan efesiensi Taylor berhasil mengguncang pola pikir manajemen kala itu. Sebelumnya, pekerja yang memilih dan melatih diri melakukan sebuah pekerjaan semampunya. Bagi Taylor hal tersebut tak sepatutnya dilakukan pekerja, manajemenlah yang mesti memilih dan melatih pekerja untuk melakukan sebuah pekerjaan. []