Biaya pembangkit listrik tenaga surya Indonesia saat ini terbilang masih mahal jika dibandingkan dengan milik Uni Emirat Arab (UEA). Di Indonesia biaya per Kwh lebih dari 10 sen sementara UEA hanya 2 sen, dan untuk menghasilkan 200 MW biayanya sekitar 2,24 sen. Menteri Energi dan Sumberdaya Daya Mineral (ESDM) Ignatius Jonan sedang mempelajari tingginya biaya pembangkit listrik tenaga surya di Indonesia.

“Jika menghasilkan energi besar namun biaya opersional juga besar berarti tidak efisien dan industri tidak kompetitif,” ujarnya. Ia heran dua pembangkit listrik tenaga surya milik UEA masing-masing menghasilkan 150 MW dan 200 MW mampu beroperasi secara eifisien, sementara di Indonesia belum. Bahkan margin biaya operasional di UEA dan Indonesia berbeda jauh padahal sumber matahari relatif sama.

Menteri ESDM pada 2017 menekankan sektor energi sebagai sektor yang berfokus pada efisiensi produksi. Arus distribusi yang rumit serta berbagai bentuk pemborosan akan dibenahi sesuai kebutuan dan potensi energi masing-masing daerah.

[cpm_adm id=”11784″ show_desc=”no” size=”medium” align=”left”]

Misalnya industi minya dan gas bumi akan memfokuskan pad efisiensi berbasis hasil produksi. Hal demikian perlu dilakukan lantaran sektor migas masi belum efisien dalam berproduksi. Sektor migas harus belajar menjadi industri yang kompetitif, memahami pasar.

Selanjutnya Pemerintah berencana merevitalisasi kilang yang sudah ada dan membangun enam kilang baru. Kilang akan dibangun Pertamina dan swasta dengan syarat memahami kondisi pasar. []

Baca juga  Efisiensi Pemboran di Lapangan Bangko, PHR Hemat Miliaran Rupiah