Indonesia tengah berada di persimpangan. Kejayaan ekonomi akibat harga komoditas yang tinggi telah berakhir. Kini, saat menjelang hingga sudah terselenggaranya pemilihan umum presiden, publik bertanya apakah presiden selanjutnya dapat membawa Indonesia ke era ekonomi baru.  

Lantaran tidak berinovasi, ekonomi Indonesia yang nilainya nyaris mencapai satu triliun dolar tengah melamban. Sektor manufaktur dibiarkan layu ditengah lonjakan komoditas. Indonesia dikhawatirkan tak mampu membangun pelabuhan jalan, dan pembangkit tenaga listrik yang dibutuhkan guna meningkatkan investasi di luar Jawa yang telah sangat padat.

Andrew White, direktur pelaksana Kamar Dagang Amerika Serikat di Jakarta, menyebut Indonesia sebagai “ladang emas di ladang ranjau”. Meski demikian, ia mengatakan saat ini Indonesia sudah bertindak tepat dengan “berusaha mencari jalannya.”

Beberapa ekonom khawatir Indonesia – yang dulu adalah kesayangan investor asing – gagal lolos dari “jebakan kelas menengah.” Dalam skenario ini, ekonomi sebuah negara berkembang yang kaya sumber daya alam mandek setelah menikmati pertumbuhan pesat bertahun-tahun. Brasil dan Afrika Selatan kerap disebut sebagai contoh negara berkembang yang terperosok dalam jebakan ini.

“Dilihat dari bagaimana sektor manufaktur menjadi industri kelas dua di bawah industri komoditas, Indonesia mungkin telah terperangkap jebakan kelas menengah,” kata Wellian Wiranto, ekonom OCBC.

Perubahan itu telah berlangsung sedari dulu.

Sepanjang 1990-an, pabrik-pabrik dalam negeri mulai menggeliat. Manufaktur menyumbang sampai 29 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2001 dan 2002. Setelah itu, pertumbuhan pesat ekonomi Cina dan negara berkembang lainnya memicu naiknya permintaan atas minyak kelapa sawit, batu baru, bauksit, dan timah Indonesia.

Harga komoditas yang meroket menembus rekor mendorong perusahaan mengalihkan investasinya dari manufaktur ke sektor pengerukan sumber daya alam (SDA) Indonesia yang lebih mudah dilakukan.

Baca juga  Pendapatan Negara 2024 Mencapai Rp2.842,5 Triliun, Berikut Rinciannya

Selama periode itu, Indonesia menjadi salah satu negara berkembang dengan pertumbuhan terpesat di dunia. Ekonomi Indonesia tumbuh di atas  6 persen tiga tahun berturut-turut. Sementara itu, sumbangan manufaktur bagi ekonomi anjlok ke kurang dari 25 persen PDB.

Pemerintah kini berusaha keras untuk membalik tren tersebut dan membangun beberapa sektor baru, seperti manufaktur teknologi.

Meski demikian, dalam beberapa tahun terakhir perusahaan teknologi memutuskan enggan berinvestasi di Indonesia. Ini seperti kasusnya Blackberry, Research In Motion (RIM). Smartphone tersebut memang sangat populer di Indonesia, namun RIM lebih memilih Malaysia untuk dijadikan pusat manufaktur regionalnya.

Alasannya karena kurangnya insentif pajak, infrasutruktur, dan pekerja terampil, demikian menurut seorang pejabat Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Samsung Group asal Korea Selatan belum lama ini juga menangguhkan rencana mendirikan pabrik ponsel di tanah air.  Kata seorang pejabat pemerintah, Samsung mundur karena tidak mendapat tawaran insentif yang bersaing di tingkat regional.

Keputusan semacam itu memperburuk defisit perdagangan Indonesia yang terus melebar seiring dengan layunya industri komoditas. Salah satu penyebabnya, Indonesia mengimpor ponsel senilai miliaran dolar setiap tahunnya.

Samsung dan RIM menolak berkomentar soal keputusan investasinya.

Pemanufaktur asal Taiwan, Hon Hai Precision Industry Co, telah berulang kali menunda rencananya membangun pabrik di Indonesia. Hon Hai, yang juga dikenal dengan nama Foxconn, merupakan perakit sebagian besar iPhone dan iPad untuk Apple Inc. Perusahaan pun gagal mewujudkan janji pendirinya.

Namun, ternyata masih ada perusahaan yang antusias memanfaatkan potensi Indonesia. Beberapa perusahaan, seperti Toyota Motor dan Nissan Motor, telah membangun pabrik di Indonesia untuk menargetkan kelas konsumennya yang terus bertambah. Selain itu, perusahaan lain tengah menimbang Indonesia sebagai lokasi investasi, lantaran dinilai relatif stabil jika dibandingkan dengan Thailand dan negara lainnya.

Baca juga  Inovasi: Perjalanan Astra Isuzu menuju Operational Excellence

Kendati demikian, perusahaan asing memandang pembangunan infrastruktur yang sangat dibutuhkan, seperti jalan dan jaringan listrik.

“Jalanan di Indonesia buruk atau macet, dan pelabuhannya sangat penuh. Hal-hal seperti ini melemahkan daya kompetisi kita,” kata Suryo Suwignjo, presiden direktur PT Philips Indonesia.

Selain itu, produsen otomotif dalam negeri, Indomobil Sukses Internasional, mengeluhkan tingginya harga tanah di sekitar Jakarta. Meski begitu, membuka pabrik di luar ibu kota juga sulit, kata perusahaan.

“Bisa saja pindah ke Semarang, kota dengan upah lebih kecil dan masih tersedia lahan kosong. Namun, infrastruktur belum memadai,” papar Soebronto Laras, petinggi perusahaan.

Investasi asing langsung (FDI) di Indonesia mencapai rekor tahun silam. Namun, pertumbuhannya melambat. Tercatat kurang dari 3 persen produk domestik bruto (PDB), FDI Indonesia pun tertinggal dari Singapura yang lebih dari 20 persen dan Malaysia yang melampaui 5 persen.

“Kita tahu negara ini tak mampu hanya bergantung pada komoditas dan energi,” kata Menteri Keuangan Chatib Basri. Ia mendorong kementerian lain untuk mereformasi lembaga masing-masing. “Kita tidak ingin jatuh ke dalam perangkap pendapatan menengah.”

“Ini tentang bagaimana Indonesia bisa bertahan dalam jangka panjang,” tegasnya.

“Sedikit terlambat bagi Indonesia untuk mengejar ketertinggalan dari negara lain di kawasan. Namun, Indonesia mesti mengembangkan sektor manufaktur. Dan itu mesti dikerjakan sekarang,” sahut Aldian Taloputra, kepala ekonom Mandiri Sekuritas.

Sektor manufaktur Thailand menyumbang nyaris 36 persen dari PDB pada 2010, menurut Bank Dunia. Bank itu juga mengisyaratkan bahwa kini adalah waktu yang tepat bagi Indonesia. Dalam laporan pekan lalu, ia menyatakan, “Indonesia mau tak mau harus berusaha lebih keras.”

Ditulis oleh: Ben Otto dan I Made Sentana

Adaptasi dari artikel indo.wsj.com