Inisiatif yang cukup berani diambil pada akhir 2002 oleh pabrik Novartis di Suffern, New York. Implementasi perdana Lean di perusahaan farmasi global ini menyasar kepada penurunan cycle time sebesar 70 persen dan penghematan biaya sebesar 40 persen. Program pertama yang menjadi pilot bagi seluruh situs Novartis di seluruh dunia ini begitu “beresiko dan penuh drama, namun sangat perlu dilakukan.

Dari Lean Enterprise Menuju Continuous Manufacturing

Ide tersebut muncul dalam sebuah penerbangan. Ketika duduk di kursi pesawatnya dalam suatu perjalanan panjang, Tom van Laar,mantan kepala operasi teknis global diNovartis Pharmaceuticals, terlibat perbincangan seru dengan CEO-nya mengenai keterbatasan-keterbatasan manufaktur. Ketika itu sang CEO mengajukan pertanyaan, “Mengapa proses manufaktur harus dijalankan dengan orientasi pada batch dan tidak berkelanjutan?”

Bagi van Laar, pertanyaan tersebut lebih bersifat tantangan alih-alih sesuatu yang harus dijawab. Entah bagaimana, ia mendapat ide untuk mentransformasi sistem manufaktur raksasa farmasi tersebut menjadi sesuatu yang sederhana dan ultra-efisien, yang prosesnya mengutilisasi teknologi dan mesin-mesin termutakhir yang pada saat itu belum pernah dilakukan di industri farmasi.

“Tekanan untuk mengurangi biaya pelayanan kesehatan global sangat mendesak,” kata van Laar saat itu. “Perusahaan manufaktur farmasi, termasuk kapabilitas manufakturnya, harus menemukan cara terbaik untuk menurunkan biaya produksi obat agar harga pasar yang harus dibayar pasien lebih rendah, tanpa mengorbankan compliance.”

Manufaktur farmasi juga perlu beradaptasi dengan isu-isu besar yang dihadapi perusahaan farmasi global dengan meningkatkan kecepatan time to market agar produk-produk baru bisa segera diluncurkan dan paten diperpendek.

Mengoptimasi Existing Process dengan Lean

Langkah awal transformasi manufaktur di Novartis dimulai pada 2002, ketika perusahaan biomanufaktur tersebut mengadopsi Lean Manufacturing. Tujuannya adalah sistem dan budaya manufaktur yang sangat efisien, teroptimasi maksimal, dan berorientasi kepada proses.

Baca juga  Indonesia di posisi ke-12 Top Manufacturing Countries by Value Added 

Lean Manufacturing sama artinya dengan just-in-time manufacturing. “Industri lain telah melakukannya sejak dekade 80-an dan 90-an, namun dengan alasan yang bervariasi, termasuk isu-isu regulasi yang kami hadapi, perusahaan farmasi belum pernah merangkulnya,” terang van Laar.

Namun hal tersebut berubah pada 2002, ketika van Laar bergabung dengan Novartis dan melakukan evolusi global di fasilitas-fasilitas manufaktur dan supply chain menjadi Leanoperation. Kini, 23 fasilitas manufaktur global milik Novartis telah menempuh perjalananan Lean mereka.

Memulai Perjalanan Panjang: Menaklukkan Tantangan di Awal Program

Bagian tersulit dari sebuah perjalanan adalah menemukan cara terbaik dan motivasi yang cukup untuk memulainya. Untunglah, Novartis menemukan keduanya di saat yang tepat. Inisiatif perubahan dimulai di pabrik Suffern, New York, pada November 2002 lalu.

Proyek pilot pertama dijalankan dengan target menurunkan cycle time sebesar 70% dan mengurangi biaya sebesar 40%. Pada awal proyek, manajemen dan staf di Suffern meneliti dan merekonstruksi ulang setiap proses teknis dan role di pabrik. Mereka juga meningkatkan sistem teknologi informasi dan teknologi lain, membentuk tim-tim yang berorientasi pada proses, tanpa supervisor first-line.

Awal mula perjalanan Lean bukanlah sesuatu yang dapat ditanggung oleh mereka yang lemah hati, gila kendali atau alergi perubahan. Perjalanan tersebut amat-sangat beresiko, menegangkan, namun perlu dilakukan. Begitulah yang dikatakan van Laar saat itu. “Kami bisa saja memilih untuk diam, tidak melakukan rekayasa ulang, yang akan mempengaruhi beberapa pekerjaan, dan menunggu datangnya resiko dari semua pekerjaan. (Apa yang kami lakukan) adalah tentang menjadi lebih kompetitif di masa depan.”

Saat itu manajemen Novartis mengakui, melakukan buy-inuntuk konsep Lean adalah bagian tersulit dari program. Sebagian besar karyawan telah melakukan pekerjaan dengan cara yang sama untuk waktu yang lama, dan perubahan menjadi hal yang tidak mudah. Namun, ketika melihat berbagai keuntungan yang didapat, mereka mulai menerima dan termotivasi.

Baca juga  Pentingnya Assessment Sebelum Implementasi Project

Ketika karyawan mulai menerima, perjalanan menjadi lebih terkendali. Suffern mulai merencanakan program Lean untuk meningkatkan semua proses kerja utama, mulai dari manajemen supply chain keseluruhan, validasi cycle time, proses di laboratorium, hingga change control.

“(Ketika memulainya) kami melakukan pemetaan aktifitas yang dilakukan saat ini, lalu merancang visi ideal mengenai bagaimana aktifitas tersebut dilakukan di masa depan, lalu melakukan gap analysis untuk menemukan cara menuju kesana,” kata van Laar pada awal program. Proses ini melibatkan semua orang, mulai dari operator hingga manajemen atas. “Di setiap kasus, kami melihat setidaknya ada 40 hingga 50 persen reduksi pekerjaan yang dilakukan di tiap area, karena pekerjaan tersebut tidak menambahvalue”.

Usaha perbaikan yang dilakukan terbukti meningkatkan fokus pekerjaan dari hari ke hari. “Sebelum program dimulai, kami mengukur semua indikator kinerja (KPI) di pabrik, mulai dari tingkat kehadiran dan shift karyawan, rekam kesalahan pada batch-batch, baik minor dan major,” kata John Micheline, koordinator tim di pabrik pada saat itu, yang bertanggung jawab atas produksi produk hipertensi, Diovan. “KPI yang menyeluruh membuat kami fokus kepada program. Kami mulai bisa berkonsentrasi kepada isu-isu yang penting bagi end user, seperti level pelayanan pelanggan dan cycle time.” ***