Walaupun telah resmi ditutup pada 2010 ketika Toyota dan General Motors memutuskan untuk “bercerai”, NUMMI telah memberikan pelajaran yang berharga kepada kedua “orangtua”-nya. GM mendapatkan pelajarannya ketika mengalami gesekan budaya perusahaan dengan budaya Toyota Production System (TPS). Budaya di GM mengapresiasi ‘senioritas’, yaitu jenjang karir seseorang ditentukan oleh lamanya ia bekerja. Hal tersebut bertentangan dengan filosofi TPS.
Dalam konsep TPS, karyawan harus mempelajari setiap pekerjaan yang dijalankan oleh tim dan mengambil peran untuk ikut menjalankannya juga. Pengetahuan, transfer ilmu, dan pembelajaran sangat penting. Sayangnya konsep ini sering bertentangan dengan budaya kerja di GM dan sering menempatkan pekerja dalam posisi bersebrangan dengan pekerja lainnya. Misalnya, karyawan seringkali mengemukakan kesalahan yang dilakukan karyawan lain.
Para manajer juga memiliki kepentingan tersendiri (misalnya, sistem reward yang berbasis kepada jumlah mobil yang diproduksi, dimana produk cacat juga ikut diperhitungkan), seperti “kerajaan kecil” yang mereka lindungi. Hal-hal kecil yang menguntungkan seperti ketersediaan tempat parkir, pengaturan di kafetaria, juga menjadi pertimbangan. Terlalu banyak hal yang meyakinkan karyawan bahwa mereka tidak perlu berubah untuk tetap merasa nyaman.
Kesuksesan TPS-pun tidak hanya bergantung kepada kondisi di pabrik, namun juga kepada supplier keiretsu perusahaan. Keiretsu artinya “bisnis konglomerasi yang saling berkaitan dengan adanya cross-shareholding untuk membentuk budaya perusahaan yang kuat”. Di NUMMI, Toyota belajar untuk mengadaptasi konsep ini dengan supplier AS, juga dengan kerangka regulasi dan kerjasama dengan serikat pekerja di negeri Paman Sam.
Menurut analisa para ahli Lean, di GM, improvement di sebuah pabrik akan terhalang oleh masalah yang ada di perusahaan atau supplier. Terdapat hubungan yang destruktif dengan para supplier. Setiap orang memiliki peran dalam ekosistem yang disfungsional, dan sangat sulit untuk mengadakan perubahan; terlebih lagi improvement.
Selain itu, GM saat itu tidak memiliki sense of urgency. Market share mereka meluncur dari 47% di AS pada pertengahan dekade 70-an, menjadi 35% pada dekade setelahnya. Barulah pada tahun 1992, ketika GM mengalami kerugian sebesar 23,5 milyar dolar, alasan untuk berubah menjadi cukup kuat untuk menimbulkan inisiatif improvement. Meski demikian, gap kultural antara NUMMI dan GM begitu besar. Walaupun inisiatif telah digalakkan oleh manajemen, beberapa orang yang berada di puncak operasional masih kebingungan untuk memulai.
Dari sini GM mendapatkan pelajaran berharga: perubahan dan perbaikan tidak dapat dijalankan hanya melalui “posisi nyaman”. Dibutuhkan keinginan untuk belajar lebih dalam dan adaptasi tingkat tinggi, disamping komitmen dari para stakeholder perusahaan. Selain itu, budaya perusahaan yang telah berakar selama bertahun-tahun juga bisa menjadi tantangan tersendiri. Sebaiknya manajemen memikirkan strategi khusus untuk mengatasinya. Seperti kata pakar organisasi Dr. Russel Ackhoff, “Jika kita menjalankan sebuah metode improvement untuk memperbaiki operasional, yang dijalankan setengah-setengah, anda bisa yakin bahwa performa dari keseluruhan operasional tidak akan meningkat. Sebagian besar program improvement dilakukan setengah-setengah, tidak menyeluruh.”
Usaha Mengembangkan Strategi
Setahun setelah NUMMI berdiri, GM mencoba mereplikasi NUMMI pada sebuah pabrik di Van Nuys, 400 mil dari Fremont. Namun karyawan disana merasa skeptis terhadap sistem baru yang dijalankan. Tidak seperti karyawan NUMMI, karyawan disana tidak berpikir bahwa mereka akan kehilangan pekerjaan.
“Penerimaan akan perubahan sangat rendah,” kata Larry Spiegel, salah satu pemimpin yang berjuang untuk mentransformasi pabrik Van Nuys. “Ada terlalu banyak karyawan yang teryakinkan bahwa mereka tidak perlu berubah.”
Menurut Spiegel, walaupun GM mengancam akan menutup pabrik, mereka tidak bergeming. Karyawan tidak percaya hal itu akan terjadi, dan terjebak didalam cara-cara lama mereka. Kualitas tidak pernah berkembang di Van Nuys dan pada 1992, GM menutup pabrik tersebut. Dengan market share GM yang terus meluncur, para eksekutif telah mencoba untuk menerapkan konsep NUMMI di seluruh perusahaan.
Geoff Weller pernah diberi tanggung jawab untuk mentransformasi GM, di setiap pabriknya. Namun lingkup GM sangatlah luas dan merupakan perusahaan yang sangat tidak tersentralisasi. Setiap manajer pabrik adalah raja.
Menurut Weller, beberapa plant manager memiliki integritas, dan sebagian tidak. Ia pernah diminta untuk meninggalkan pabrik oleh seorang manajer setelah melakukan presentasi mengenai sistem NUMMI. Ketika ditanya mengapa CEO GM tidak memecat mereka yang menolak sistem yang akan membantu memproduksi mobil berkualitas tinggi dengan modal lebih murah, Weller menjawab, “GM adalah perusahaan besar… dan caranya tidak semudah itu.”
Beberapa orang di GM mencoba menyebarkan pelajaran dari NUMMI, namun perkembangannya begitu lambat. Di beberapa pabrik, karyawan merasa tradisi mereka terancam oleh sistem baru dari Toyota tersebut dan menolak perubahan. Pada saat itu, GM merupakan perusahaan yang sangat terdesentralisasi dan plant manager bisa leluasa menjalankan pabrik seperti layaknya kerajaan mereka sendiri. Kadang mereka memecat eksekutif yang mencoba menyebarkan sistem Toyota.
Dalam beberapa tahun, para eksekutif di GM akhirnya belajar dari NUMMI dan pada akhirnya mereka menerima dan memahami konsep TPS. Pada awal tahun 2000, perusahaan mengembangkan model produksi yang berbasis kepada prinsip manufaktur Jepang dan menetapkannya sebagai standar di setiap pabrik. Walaupun posisi mereka masih dibelakang Toyota, namun mereka telah berhasil memperbaiki banyak hal.
“Yang sangat ironis mengenai GM adalah, ketika mereka mengalami kebangkrutan, mungkin pada saat itulah perusahaan mencapai bentuk dan sistem terbaiknya,” kata James Womack, co-author dari buku The Machine that Changed the World, sebuah buku yang membandingkan GM dan TPS. “Namun sayangnya, perubahan tersebut terlambat, dan keterlambatan itu tak termaafkan. Jika anda diberi kesempatan, dan baru bisa memanfaatkan kesempatan tersebut setelah 30 tahun, mungkin anda telah kehabisan waktu dan penawaran telah berakhir.”***