Beberapa industri ritel menghadapi sejumlah tantangan juga gangguan akibat munculnya perusahaan perintis dengan model bisnis baru seperti Alibaba dan Amazon, yang meluncurkan inovasi cepat seperti pemesanan suara dan harga yang real-time, yang mana terus dilakukan sembari membangun skala dan menurunkan biaya (down costs). Pembelian online yang semakin meningkat dan banyaknya produsen yang menjual ke konsumen secara langsung, mengurangi pendapatan para pemain ritel. Menariknya, perubahan ini terjadi di hampir setiap kategori ritel – buku, hiburan, peralatan rumah tangga, pakaian, makanan, jasa keuangan, dan bahkan energi.
Peritel yang ditinggalkan adalah mereka yang menyadari gangguan tersebut ada namun memperlakukan gangguan sebagai masalah bisnis yang biasa dalam industri sehingga lambat dalam perencanaan strategis. Saat ini peritel yang sudah mapan sekalipun mulai mengatur dan memberikan strategi penjualan dengan kecepatan yang hampir real-time untuk bersaing dengan pesaing online mereka. Dalam lingkungan baru ini pilihannya hanya beradaptasi atau minggir, memberi ruang bagi pesaing yang bisa.
Untuk mengakomodasi perubahan pada model bisnis, sebagaimana dilansir dari hbr.org para peritel terkemuka umumnya mengikuti tiga prinsip di bawah ini:
Memberdayakan “mid – level team”
Sementara para eksekutif menyusun strategi perusahaan, biasanya dibutuhkan tim yang terdiri dari orang-orang terdepan wakil dari semua divisi yang siap menerima usulan perubahan dan untuk mengetahui bagaimana menerapkannya. Itulah sebabnya Alibaba dan Amazon, misalnya, menciptakan tim lintas fungsi yang otonom di perusahaan masing-masing untuk menciptakan dan mengirimkan produk dengan cara baru. Tim ini secara teratur menghasilkan inovasi yang memungkinkan peritel online ini meluncurkan lebih banyak produk dan layanan baru lebih cepat daripada pesaing mereka.
Peritel lain yang berfokus dengan masa depan, membentuk tim lintas fungsi dan otonom untuk menghadapi tantangan yang terus berkembang. Beberapa dari mereka mempertahankan tim in-house secara terpisah untuk mencoba sistem baru yang berpotensi lebih unggul, tidak mengikuti sistem lama. Misalnya Walmart’s Store No. 8, mereka berinvestasi di perusahaan kecil untuk menguji teknologi baru – seperti analisis data tingkat lanjut atau cara baru untuk mengirimkan produk – sebelum membawa mereka ke dalam sistem. Dengan begitu peritel ini lebih mudah mengajukan pertanyaan yang menantang dan merangkul perubahan lebih cepat.
Setelah tim bekerja dalam tim lintas fungsi, peritel seringkali mendapatkan dampak material pada kelincahan dan biaya. Misalnya, peritel akan mengetahui bahwa sebenarnya perusahaan mampu beroperasi hanya sengan sepertiga karyawan di tokonya. Kelompok ini merancang toko seperti benar-benar baru, menggunakan pendekatan lean store mereka akan memilih produk terbaik, memasukkan 70 persen produk ke dalam katalog dan cukup mendisplay seperempatnya di toko. Mereka juga menyederhanakan proses checkout dan shelf restocking processes and equipment..
Dengan merampingkan kompleksitas toko, tim juga mampu memangkas biaya rantai pengecer sebesar 20 persen. Dalam prosesnya, perusahaan menjadi lebih mengenal pelanggannya – apa yang mereka suka beli dan bagaimana mereka berbelanja.
Peritel terkemuka terus memperbaiki bisnis mereka dengan mendorong karyawan agar tidak sekedar meninggalkan cara lama dalam melakukan sesuatu, tapi juga berfikir seolah mereka mennciptakan perusahaan dari nol dan memilih sistem atau tools yang paling aplikatif. Hal ini sangat efektif karena tim lintas fungsi tidak menjawab divisi tertentu. Jadi, mereka lebih cenderung mengenali, misalnya, ketika sistem TI sebelumnya menjadi batu sandungan untuk maju, masalah umum dalam operasi ritel.
Libatkan eksekutif dalam “continuous small sprints”
Perusahaan sering kali menggabungkan para teknolog dengan manajer dalam sebuah tim untuk terus menguji dan memperbaiki sistem mereka agar bisa menghilangkan hambatan dan menjaga agar kemajuan tetap berjalan sesuai rencana. Tapi, peritel papan atas menyimpulkan bahwa eksekutif, termasuk chief executive officer, perlu terlibat dalam aktivitas sehari-hari agar pemikiran revolusioner dapat diterima dengan cepat. Jika tidak, masalah yang diangkat akan tidak terselesaikan atau proyek akan kembali ke jalur yang lebih konvensional.
Di Amazon, misalnya, eksekutif diminta untuk “dive deep” dan juga “think big.” Itu berarti mereka diharapkan untuk bekerja secara teratur dengan tim operasional junior untuk memecahkan masalah tertentu dan juga menetapkan strategi, dan orang lain juga akan turut menilai segingga tercapai keseimbangan yang tepat. Keterlibatan eksekutif ini bisa menjadi suatu budaya salah satunya dengan membuat CEO memimpin weekly meeting dengan tim proyek atau daily meeting 15 menit setiap harinya.
Ketika CEO memimpin meeting, tim dapat mengangkat beberapa isu atau masalah, besar atau kecil, dan menyelesaikannya dalam hitungan menit. Bahkan masalah rumit yang melintasi batas-batas organisasi tradisional dapat didebat, seperti mendapatkan izin untuk mengubah kampanye pemasaran tanpa persetujuan dari direktur pemasaran atau untuk menguji penawaran produk baru di toko-toko tanpa terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan dari divisi operasional dan komersial.
Memungkinkan orang merasa nyaman dengan kegagalan – termasuk CEO.
Peritel terkemuka telah mengembangkan kemampuan untuk mengubah bisnis dengan gesit, bahkan hanya berdasarkan pengujian beta. Organisasi yang mampu melakukan ini dengan baik tentu memiliki CEO yang tidak ingin menghindari kegagalan dan berani mengambil lebih banyak risiko dan belajar.
Amazon telah secara praktis mengkodifikasi kegagalan di seluruh perusahaan dengan memisahkan keputusan menjadi “pintu satu arah” dan “pintu dua arah.” Pintu satu arah digunakan untuk menyelesaikan keputusan besar dan penting seperti akuisisi besar. Sedangkan keputusan pintu dua arah digunakan untuk keputusan yang dibuat cepat dengan informasinya yang terbatas dan kegagalan nya pun tidak berisiko, seperti peluncuran produk baru atau keputusan penetapan harga. Akibatnya, Amazon dapat secara teratur menyesuaikan diri dengan tren dan cepat mengeluarkan produk.
Pergolakan dalam bisnis sudah dimulai sejak dua dasawarsa lalu, ketika Amazon didirikan. Kekacauan ini menjadi langkah awal para peritel menemukan cara baru untuk membuat operasi mereka lebih kuat.