Toyota merupakan salah satu perusahaan yang paling dihormati di dunia. Bukan lantaran memiliki kapitalisasi market terbesar di dunia, namun prinsip-prinsip kepemimpinan dalam budaya Toyota berhasil membuatnya dijuluki “Dewa” perusahaan manufaktur. Tak heran setiap perusahaan selalu tertarik mempelajari apapun tentangnya.
Toyota memiliki produk-produk berkualitas tinggi karena berhasil menerapkan prinsip-prinsip kepemimpinan, membuat merek Toyota melekat kuat di pasar otomotif. Hasil kerja keras menanamkan nilai kepemimpinan selama bertahun-tahun sukses menciptakan brand image yang kuat.
Prinsip kepemimpinan Toyota tergolong unik. Misalnya, menjadi rahasia umum Toyota merekrut seseorang untuk menempati jabatan level eksekutif. Padahal, umumnya seorang pemimpin tumbuh dari bawah melalui proses yang panjang. Sehingga mampu menginternalisasi dan mewarisi budaya perusahaan saat berada di posisi puncak.
“Seorang pemimpin harus mampu terbang seperti Elang dan membumi seperti seekor Cacing,” demikian gambaran kepemimpinan Toyota yang mendunia. Terbang seperti Elang mengilustrasikan kemampuan pemimpin memandang jauh ke depan, visioner, menjadi inspirasi setiap individu, bersama-sama mewujudkan visi organisasi. Begitupun saat membumi seperti seekor cacing.
Filosofi cacing yang hidup di dalam tanah bukan di permukaan tanah, mengajarkan kemampuan seorang pemimpin untuk memiliki empati yang kuat. Mampu merasakan orang-orang yang dimpimpinnya di seluruh tingkatan organisasi. Seorang pemimpin tak bisa hanya menerima laporan di meja kerja, sebaliknya, mesti melihat langsung masalah di lapangan.
Tools yang paling hebat seorang pemimpin menurut Toyota adalah sepasang sepatu. Sepasang sepatu dalam tradisi kepemimpinan Toyota lebih hebat ketimbang tools improvement apapun dalam manajemen ramping termasuk value stream mapping, single minute exchange of dies, balance to takt time, standardized work, atau bahkan kanban replenish pull system.
Sepasang sepatu dalam tafsir kepemimpinan Toyota merupakan gambaran sikap dan tindakan melihat, mendengar, merasakan proses aktual produksi di lapangan. Sepasang sepatu Toyota memberikan inspirasi kepada setiap pemimpin untuk melatih empati, mengidentifikasi langsung aktivitas yang tak memberi nilai tambah, non value added activities.
Budaya pemimpin turun langsung ke lapangan disebut Gemba atau blusukan, meminjam istilah yang dipopulerkan oleh Joko Widodo Presiden RI. Blusukan mengandung pengertian turun langsung, inspeksi mendadak, berdialog dengan masyarakat bawah, melihat langsung kondisi dan masalah aktual. Gemba dan blusukan berhasil menjadi antitesis pola kerja “asal bapak senang” atau ABS.
Pemimpin melakukan Gemba untuk melihat berbagai proses di lapangan yang tak efisien. Melihat fakta, data, material, mesin kondisi karyawan lebih utuh, jelas, mengasah kepemimpinan lebih peka dengan suara shopfloor, operator produksi. Melalui Gemba pemimpin dapat melihat kondisi riil area produksi, kondisi mesin dan bagaimana selama ini perawatan dijalankan.
Di sisi lain, Gemba membantu menganalisis penyebab masalah, membantu mengambil keputusan yang tepat. Pun, memungkinkan atasan dan bawahan berkomunikasi terbuka, transparan menyampaikan masalah. Gemba leadership mengajarkan pemimpin “menyentuh hati” individu yang berada di bawah kepemimpinannya.