Oleh: Dax Ramadani
Di masa ini, konsep Lean dan Toyota Production System sudah merupakan konsep umum yang diketahui oleh praktisi di bidang Operations Management. Konsep ini bahkan sudah di adaptasi di luar industry manufaktur.
Dalam usaha sebuah perusahaan mengaplikasi konsep Lean ini, kita menemukan tingkat kesuksesan yang beragam. Kesuksesan dari aplikasi ini kerap dihubungkan dengan ‘komitmen’, ‘fokus’, dan ‘keterlibatan’ management. Memang kalau dilihat, pernyataan seperti itu tidak jauh dari apa yang dibutuhkan, yaitu konsep Lean hanya akan dapat berjalan bila seluruh jajaran di perusahaan tersebut, mulai dari CEO hingga frontline officers, berkomitmen, fokus, dan terlibat.
Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana seharusnya komitmen, fokus, dan keterlibatan itu terjadi. Berdasarkan observasi yang dilakukan tim SSCX selama satu dekade bekerja sama dengan perusahaan di berbagai industri, ada satu benang merah sikap yang diperlukan untuk keberhasilan pelaksanaan aktifitas menuju kondisi Lean. Sikap tersebut adalah kerendahan hati, keterbukaan, dan kemampuan berpikir menyeluruh.
Humility
Kerendahan hati di sini bukan berarti kita mengabaikan pendalaman keahlian atau meniadakan pendirian. Kerendahan hati di sini dapat kita bagi menjadi 4 bagian:
- Sikap kita terhadap ide orang lain:harga diri kita tidak menurun ketika kita memberikan kesempatan orang lain untuk berkreasi dan mengeluarkan ide. Terlebih lagi, ketika ide yang dikeluarkan memang memiliki bobot dan berguna bagi perusahaan, kita akan mendukung ide tersebut tanpa rasa khawatir akan keamanan pekerjaan kita.
- Sikap kita terhadap perbedaan pendapat: ketika orang tidak setuju dengan pendapat kita, orang itu tidak merendahkan harga diri kita. Perbedaan pendapat terjadi di mana saja, mulai dari makanan favorit hingga kandidat presiden yang disukai. Yang penting dilakukan adalah memahami fundamental penyebab perbedaan tersebut dan mencari jalan keluar bersama.
- Sikap kita terhadap pemenuhan kebutuhan orang lain (khususnya pelanggan kita, baik pelanggan eksternal maupun internal): Faktanya adalah, kita exist karena pelanggan kita membutuhkan kita. Ketika kita diminta untuk memenuhi kebutuhan satu pihak, harga diri kita tidak diturunkan. Kebutuhan itu hanya sebuah hal yang perlu dilakukan dalam rangka memenuhi peran kita dalam sebuah rantai proses bisnis dan rantai hubungan antar manusia.
- Sikap kita terhadap bimbingan mentor atau atasan: Instruksi yang diberikan, tugas yang dipercayakan, dan kata-kata yang dikeluarkan oleh mentor atau atasan itu bertujuan untuk membangun kita menjadi orang yang lebih kompeten secara professional. Tidak ada hal yang terlalu kecil untuk dikerjakan dan tidak ada hal yang diberikan dengan maksud lain.
Untuk memiliki sikap rendah hati yang dimaksud, ada 4 faktor yang perlu diperhatikan:
- Confidence in Self: Faktor pertama ini erat kaitannya dengan kepercayaan diri yang dimiliki. Kita tidak mungkin memiliki kerendahan hati ketika nilai diri kita masih bersifat eksternal, yaitu ketika kita masih memerlukan pengakuan orang atas kompetensi dan pencapaian kita. Rumus yang digunakan di sini adalah HDR = PM: Harga Diri Rendah = Pertikaian dan Masalah. Apakah kita sering merasa tersinggung sehingga timbul masalah dan pertikaian dengan orang lain? Mampukah kita mengabaikan ‘serangan’ pihak lain dan yakin terhadap kemampuan diri kita sendiri?
- Confidence in Superiors: Faktor kedua adalah tentang lingkungan kerja, dan untuk mendapatkan faktor ini tentunya ada peran serta dari budaya organisasi itu sendiri. Ketika kita memiliki kepercayaan diri yang cukup untuk bersikap rendah hati, tapi ketika kita tidak yakin bahwa atasan kita menilai kita secara objektif, kita akan ragu – ragu untuk mempertahankan kerendahan hati kita tersebut. Misalnya, pada prinsipnya kita tidak mempermasalahkaninput negatifyang salah dari pihak lain yang menjatuhkan kita, akan tetapi atasan kita ternyata menganggap perkataan tersebut valid dan menilai kita berdasarkan input – input tersebut, tentunya akan sulit bagi kita untuk tetap mengabaikan hal tersebut. Dengan perkataan lain, sang atasan perlu lebih bijaksana dalam pengambilan keputusan dan penilaian kinerja di organisasinya agar sikap rendah hati dapat tertanam di organisasi tersebut.
- Confidence in Peers: Faktor ketiga adalah keyakinan kita terhadap support yang diberikan oleh peer group Apakah mereka akan men-support kita sebagaimana mestinya demi kelangsungan proses bisnis, tanpa kita harus menonjolkan peran kita di depan mereka setiap saat?Ketika peer kita belum dibina untuk berpola pikir yang sama dengan kita, sikap rendah hati juga akan sulit tertanam di dalam organisasi. Sekali lagi, bila kita bisa menyederhanakan tindakan, hal ini ada di dalam pengaruh jajaran manajemen
- Confidence in Subordinates: Faktor keempat adalah keyakinan kita terhadap perilaku bawahan. Apakah kerendahan hati kita akan dianggap sebagai kelemahan dan kekurangan kompetensi? Apakah karena kita dianggap lemah dan inkompeten, akibatnya bawahan akan sulit diarahkan? Solusi dari kekhawatiran ini adalah melalui behavior coaching, di mana atasan tetap memberikan pengarahan dari sisi teknis dan kompetensi. Pengarahan dari sisi kompetensi haruslebih banyakmengenai cara berpikir daripada instruksi kerja. Dengan ini, kompetensi si atasan akan tetap terlihat, meskipun sang atasan tidak dominan dalam pengambilan keputusan. Solusi kedua adalah dengan memberikan penghargaan yang nyata (misalnya dalam bentuk verbal maupun real action dalam bentuk pemberian kepercayaan dan promosi) bagi bawahan yang mampu mengikuti pola pikir kerendahan hati atasan.
Openness
Sikap kedua yang diperlukan setelah kerendahan hati adalah keterbukaan. Sikap keterbukaan dapat dilihat dalam dua hal:
- Sikap terhadap masukan dari pihak lain: Masukan dari pihak lain penting didapat, karena hanya dengan masukan itulah kita dapat memahami kebutuhan, kendala, kekawatiran, dan nilai apa yang dapat kita berikan untuk pihak lain.
- Sikap terhadap peluang perbaikan diri: Nobody is perfect, dan kita juga demikian. Orang yang terbuka akan merasa peluang perbaikan terhadap dirinya dan terhadap pekerjaannya harus selalu ada.
Sikap ini adalah sikap terpenting yang perlu dimiliki ketika kita ingin kelancaran kerja sama antar bagian yang berbeda, dan sikap ini juga perlu dimiliki ketika kita ingin menyelesaikan masalah bersama yang menyangkut berbagai pihak.
Whole Thinking
Sikap terakhir adalah kemampuan berpikir yang menyeluruh. Sikap ini sudah sering kali kita dengar ketika mempelajari Lean: awalilah analisa dengan memahami kebutuhan pelanggan, lihatlah proses secara end-to-end, jangan melakukan optimasi secara lokal tanpa memperhatikan bagian lain yang saling berhubungan, dan jangan memikirkan kepentingan departemen semata melainkan lihatlah melalui mata perusahaan.
Sikap terakhir ini akan mudah untuk dipahami dan diikuti bila kita sudah memiliki kedua sikap terdahulu.
Tentunya tidak mudah untuk mendapatkan ketiga sikap di atas. Semua perubahan perlu proses, dan proses akan membawa ketidaknyamanan. Akan tetapi, bayangkan bila setiap orang di negara ini memiliki ketiga sikap itu, perbaikan hidup seperti apa yang akan kita semua rasakan. Nah, bila masa depan seperti itu yang kita dambakan, kita perlu mengingat apa yang pernah dikatakan oleh Mahatma Gandhi: “Semua perubahan harus dimulai dari diri kita sendiri.”***