Menurut laporan terakhir John Lang LaSalle yang berjudul Retail 3.0: The evolution of multi-channel retail distribution, terdapat 92 persen retailer yang menjual secara online, 68 persen menjalankan bisnis dengan membuka toko, 64 persen mengandalkan katalog. Data ini menunjukkan fakta bahwa retailer pada masa kini tengah merangkul pendekatan multi-channel untuk memenuhi ekspektasi pelanggan dan bersaing dalam perebutan market share. Sebagai tambahan, data menunjukkan bahwa 80 persen retailer menyatakan bahwa presentase penjualan secara online telah meningkat dalam lima tahun belakangan, dengan rata-rata peningkatan sebanyak 25 persen. Fakta ini memaksa retailer untuk mengubah cara kerja pada jaringan distrubusi tradisional untuk model e-commerce mereka.

“Dengan metode penjualan multi-channel menjadi fokus utama dalam distribusi ritel, retailer harus memikirkan cara distribusi tercepat dan terefisien untuk mendistribusikan barang ‘from ship-to-shore’, lalu ke toko dan ke pintu rumah pelanggan,” kata Kris Bjorson, kepada retail dan e-commerce Distribution Group di Jones Lang LaSalle. “Retailer tradisional harus mengadakan fasilitas pengiriman barang dan mengatur inventori di toko dan di toko online. Pengiriman harus dilakukan dengan kecepatan ekstra sebagai bentuk reaksi tangkas akan tantangan kompetisi dari rivalnya, yaitu retailer e-commerce murni.”

“Untuk memadukan beberapa shopping channel baru, retailer harus menambah fleksibilitas dan kompleksitas pada supply chain mereka secara simultan, namun bersamaan juga berusaha meningkatkan efisiensi,” katanya. “Mereka harus menata ulang jaringan toko dan level inventori mereka. Kita bisa lihat dalam sektor ini, ada beberapa retailer yang berkembang pesat di e-commerce dibandingkan yang lainnya. Mereka memperbaiki infrastruktur e-commerce mereka sambil mencoba mengoptimasi jaringan toko mereka.

Jaringan Distribusi Baru

Retail chain menyadari bahwa meningkatkan operasional online logistik lebih efektif dan hemat biaya dibandingkan jika harus membuka lebih banyak toko tradisional, yang masing-masing membutuhkan model distribusi yang berbeda. Karena itulah, menurut laporan, para retailer lebih memilih untuk mengembangkan jaringan distribusi regionalnya dengan tambahan beberapa e-commerce distribution center.

Baca juga  KAI Berkomitmen untuk Capai Zero Net Emission

Gudang tradisional yang merupakan pemasok toko-toko membutuhkan investasi yang lebih kecil dan staf lebih sedikit. Berbeda dengan e-commerce distribution center yang terlibat dalam pemeneuhan pesanan online secara langsung, dapat menghabiskan biaya tiga kali lipat dan membutuhkan jumlah karyawan tiga kali lipat pula.

“Jika akan membangun distribution center baru, retailer e-commerce harus memperhatikan kedekatan dengan pelanggan, pajak penjualan dan ketersediaan tenaga kerja lokal, juga tidak kalah penting yaitu harus mencari lokasi yang paling strategis untuk memenuhi semua itu,” kata Bjorson.

Efek Global dari Teknologi

Pengaruh penyebaran teknologi global atas multi-channel retailing juga membantu membuka pasar baru baik di negara maju maupun berkembang. Ketika penjualan online menjamur di Amerika dan Eropa, Cina dan Hong Kong kini memimpin pasar.

“Konsumen di Cina sangat terikat dengan aktifitas e-commerce dan m-commerce, dan mereka menghabiskan sebagian besar uang secara online,” kata Bjorson. “Walaupun teknologi dengan cepat melejitkan pertumbuhan e-commerce, namun infrastruktur logistik yang menunjang retailer tersebut masih dalam tahap pertumbuhan.”

Menurut laporan, ketidak-mampuan vendor logistik domestik dalam menangani sejumlah besar paket untuk dikirimkan kepada pelanggan dengan biaya rendah, dan dalam waktu pengiriman yang masuk akal secara dramatis memperngaruhi channel direct-customer.  Retailer umumnya harus membangun sendiri jaringan distribution center atau bergantung kepada outsource jasa pengiriman ekspres.

dalam dua dekade terakhir, perusahaan-perusahan di A.S. telah memindahkan produksi ke pasar dengan biaya tenaga kerja yang lebih rendah. Namun, seiring dengan naiknya harga bahan bakar dan semakin mahalnya upah pekerja di Asia, perusahaan lalu mencoba metode near-shoring dan on-shoring. Perusahaan yang ingin menikmati penghematan namun tidak bisa mentolerir lamanya pengiriman dari Asia lalu memindahkan beberapa bagian operasionalnya ke tempat-tempat terdekat (near-shoring) seperti Meksiko dan Amerika Selatan, bahkan juga di Amerika Serikat. Dengan tempat produksi yang lebih dekat dengan headquarter dan pasar, retailer dapat merespon dengan lebih cepat terhadap tren dan perubahan pola belanja.

Baca juga  KAI Berkomitmen untuk Capai Zero Net Emission

Diadaptasi dari: http://mhlnews.com (23/5/2012)