Oleh Riyantono Anwar, Partner SSCX International

Process control plan adalah tool dalam metode Six Sigma untuk mempertahankan pencapaian improvement. Tujuannya yaitu agar proses yang sudah ditingkatkan tidak kembali lagi ke proses yang lama, sehingga pencapaian atas proyek menjadi sustainable.  

Melihat sejarahnya, process control plan berasal dari management quality system QS9000. Digunakan oleh Big Three Automakers (General Motors, Stellantis (formerly Chrysler), dan Ford Motor Company) pada zamannya, dan diwajibkan untuk para supplier mereka, baik itu untuk tier 1 sampai tier 3. Karena standar ini dinilai efektif untuk mengendalikan proses dan kualitas, maka tool ini pun kemudian banyak diadopsi oleh industri manufaktur diluar supplier Big 3

Pada perkembangan selanjutnya QS9000 bertransformasi menjadi ISO/TS16949 yang kemudian digantikan dengan standar internasional yang lebih baru yaitu IATF 16949:2016. Yang mana dalam IATF 16949:2016 pun juga masih menggunakan process control plan sebagai salah satu dokumen yang penting dalam sistem manajemen mutu. Process control plan merupakan dokumen yang menggambarkan proses produksi yang diperlukan untuk memastikan bahwa produk memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.

Tentang Process Control Plan 

Process control plan mencakup informasi tentang langkah-langkah proses, batas kontrol, pengukuran, dan tindakan perbaikan yang harus dilakukan jika proses tidak berjalan dengan baik. Dokumen ini berfungsi sebagai panduan untuk mengendalikan proses produksi dan memastikan bahwa produk yang dihasilkan memenuhi persyaratan kualitas.

Dalam IATF 16949:2016, process control plan dianggap sebagai bagian dari perencanaan produk dan proses, diperlukan sebagai salah satu persyaratan untuk memastikan kepatuhan terhadap standar tersebut. Oleh karena itu, perusahaan otomotif harus menyusun process control plan yang jelas dan terdokumentasi dengan baik, serta menggunakannya secara efektif dalam sistem manajemen mutu mereka.

Baca juga  Menuju Perfection dengan Kaizen dan Lean

Pada prakteknya, supplier menggunakan process control plan ini menjaga kestabilan proses dan kualitas produk yang dihasilkan. Sedangkan customer menggunakan dokumen process control sebagai acuan untuk melakukan audit proses ke supplier secara berkala. 

Dari pihak customer, quality incoming adalah penanggungjawab dari audit ini. Quality incoming akan dibantu oleh process engineer dalam menjalankan audit proses. Jika terjadi finding atas process control plan, maka supplier akan melakukan resolusi berupa CAPA atau Corrective Action dan Preventive Action. Dokumen inilah yang akan dikirim ke customer sebagai tindakan koreksi.

Pada fase Control Six Sigma, kita sudah bisa menemukan variabel x (independent variable/input/causes) yang paling kritikal dan memiliki pengaruh significant terhadap variabel y (dependent variable/output/effects). Variabel input ini harus benar-benar kita jaga dan kendalikan karena seiring proses berjalan akan ada resiko menurun dan hasil improvement tidak dapat dipertahankan lagi. Dengan adanya process control plan, variabel x kritikal didokumentasikan dengan jelas, apa alat yang digunakan mengukur, siapa yang harus melakukan, dan apa tindakan jika terjadi out of control. Dengan mekanisme seperti ini, kita akan mampu menjaga kestabilan proses dan kinerja dari variabel y. 

3 Langkah

Ada beberapa langkah yang harus dilakukan dalam membuat process control plan, yaitu: 

  1. Menentukan proses apa saja yang kritikal dan harus dikendalikan. 
  2. Mengindentifkasi output atau variabel y yang akan dimonitor. 
  3. Menentukan variabel x yang kritikal yang harus dikendalikan. 

Dalam menentukan Key Process Output Variable (KPOV) dan Key Process Variable  Input (KPIV) yang akan dikendalikan, kita harus bijaksana dalam menentukannya. Kesalahan yang sering terjadi adalah menempatkan terlalu banyak KPOV dan KPIV ke dalam process control plan, sehingga pada pelaksanaannya akan sangat membebani pekerjaan produksi di lapangan. Sebagai akibatnya maka waktu yang dibutuhkan untuk menjalankannya pun menjadi tidak masuk akal.

Baca juga  Menentukan Prioritas Aksi dengan Benefit-Effort Matrix

Oleh karena itu, kita harus benar-benar selektif dalam menentukan KPOV dan KPIV ini. Penting untuk memprioritaskan mana KPOV dan KPIV yang paling kritikal pengaruhnya. Hal ini tentu saja kita perlu merujuk pada fase analisa sebelumnya.

Tahapan selanjutnya adalah menentukan alat pengukuran yang digunakan, berapa jumlah sample yang diukur, berapa sering pengukuran dilakukan, dimana hasil pengukuran akan dicatat, dan apa yang akan dilakukan jika terjadi kondisi penyimpangan.

Alat pengukuran harus tersedia dan capable untuk melakukan pekerjaan ini. Jumlah sample yang dipantau juga harus mencukupi. Frekuensi berdasarkan probabilitas terjadinya penyimpangan. Frekuensi perlu ditinjau secara berkala. Jika sudah stabil boleh dikurangi, jika masih belum stabil maka perlu ditambah. Rekaman pencatatan adalah proof of evidence yang nantinya dapat diaudit oleh pemiliki dan manajemen dari process control plan tersebut.