Munculnya skema pembayaran upah per jam dalam RUU Omnibus Law menuai reaksi dari berbagai kalangan, ada yang setuju namun tidak sedikit juga yang menolaknya.
Istilah Omnibus Law atau revisi undang-undang terkait perpajakan dan ketenagakerjaan diperkenalkan oleh Presiden terpilih Joko Widodo dalam pidato pertamananya pasca dilantik pada 20 Oktober 2019 lalu. Presiden menyebut melalui Omnibus Law kendala regulasi yang saat ini terbelit-belit akan terselesaikan dan perekonomian nasional diyakini akan menguat. Bahkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofyan Djalil Omnibus Law ini akan memberi kontribusi 1 persen terhadap pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita optimis bahwa rencana sistem upah kerja per jam yang bakal dimasukkan dalam RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja bisa memperkuat perekonomian nasional dan daya saing Indonesia. “Skema upah per jam dalam Omnibus Law itu akan menggenjot investasi dan menumbuhkan lapangan kerja baru,” katanya.
Bukan Hal Baru
Menurut Menperin, sistem upah yang dihitung per jam bukanlah hal yang baru dalam dunia tenaga kerja. Sebab, sejumlah negara sudah menggunakan skema tersebut. Melansir situs World Population Review, sudah ada sepuluh negara yang memberikan upah per jam dengan nilai besar. Kesepuluh negara itu, yakni Luksemburg, Australia, Prancis, Selandia Baru, Jerman, Belanda, Belgia, Inggris, Irlandia, dan Kanada.
Agus menegaskan bahwa penerapan upah per jam ini dapat dimanfaatkan oleh sektor penunjang industri seperti sektor jasa dan perdagangan. Sementara untuk sektor industri akan tetap mengikuti pola gaji minimum bulanan. Menurutnya, skema pengupahan per jam sebenarnya sudah lumrah dilakukan di negara-negara maju. Pembayaran per jam ini juga membuka kesempatan bagi perusahaan dalam memberikan fleksibilitas untuk menerapkan pengupahannya. Sehingga baik perusahaan maupun pekerja bisa menentukan cara kerja yang paling tepat untuk mereka.
Berbeda pendapat dengan pemerintah, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal tegas mengatakan bahwa pihaknya tetap menolak Omnibus Law karena bisa merugikan para pekerja. Di antaranya, hilangnya upah minimum, pesangon, fleksibilitas pasar kerja/penggunaan outsourcing diperluas, lapangan pekerjaan yang tersedia berpotensi diisi Tenaga Kerja Asing (TKA) unskill, dan jaminan sosial terancam hilang.
Iqbal pun membenarkan bahwa negara-negara maju telah menerapkan sistem pembayaran upah per jam. Mereka adalah negara dengan angka pengangguran yang relatif kecil dan sistem jaminan sosial yang layak, sementara Indonesia sendiri dinilai masih belum siap. Jika sebelumnya pemerintah menyebut produktivitas sebagai dasar penghitungan pengupahan per jam, menurut Iqbal cara ini tidak akan berjalan lancar, pasalnya sampai saat ini Indonesia masih belum memiliki cara menghitung (mengukur) produktivitas buruh.