Oleh: Dax Ramadani
Tulisan ini adalah kumpulan dari kisah pengalaman saya sebagai agen perubahan. Dalam perjalanan saya selama lima belas tahun terakhir ini, saya menemukan beberapa hal yang terlihat sederhana – begitu sederhana sampai-sampai sering dilupakan dan ‘dilompati’ – yang merupakan kunci keberhasilan dari perubahan yang kita inginkan (dan tentunya berdampak kepada keberhasilan peran kita sebagai agen perubahan dan konsultan operational excellence). Let’s get to the point!
1.Penyelesaian Masalah adalah 10% Pemahaman Teknis, 90% Pemahaman Non Teknis
Pada saat itu saya baru ditugaskan sebagai seorang Quality Manager merangkap sebagai Process Engineer di sebuah perusahaan manufaktur elektronik B2B (kita menjual komponen elektronik ke perusahaan teknologi lain seperti Cisco, Flextronic, EMC, dan sebagainya) di Amerika Serikat.
Saya bertanggung jawab atas penanganan keluhan pelanggan dan kelancaran proses produksi sebuah lini produk dengan volume cukup besar dan sebagian besar prosesnya menggunakan otomasi. Di tempat itulah pertama kali saya menangani sebuah keluhan pelanggan yang berhulu pada tingginya Work In Process (WIP) batch yang terjadi di setiap dua proses yang berhubungan (saya sengaja memotong rantai analisa akar masalah di sini untuk memperpendek cerita).
Yang menarik perhatian saya, semua orang sudah mengetahui masalah tersebut. Mereka sadar level WIP mereka terlalu tinggi, bahkan mereka sudah memahami langkah – langkah besar apa yang (sepertinya) harus diambil untuk menyelesaikannya, tetapi tidak ada seorang pun yang mengambil tindakan penyelesaian. Problemnya? Ada kepercayaan yang mendalam dari Mr. Plant Manager bahwa menurunkan ukuran batch produksi (suatu hal yang perlu terjadi untuk mendapatkan WIP yang rendah) akan menyebabkan biaya produksi membengkak. Sebagai seorang middle manager yang baru saya minim pengalaman negosiasi dan minim track record (sehingga banyak ide saya dianggap teori, karena memang sejujurnya saat itu saya belum pernah membuktikan ide-ide saya itu bekerja), apalagi dari sisi posisi maupun usia, beliau ada di atas saya.
Untungnya, saya mendapatkan konsultasi dan pengarahan dari atasan langsung saya, Mr. Engineering Manager, yang mengharuskan saya melakukan tiga hal: Pahami pandangan Mr. Plant Manager, pahami bersama mengenai faktor-faktor biaya produksi bersama Ms. Controller, dan pahami bersama permasalahan pelanggan yang ada serta apa yang perlu dilakukan untuk menyelesaikannya. Hasilnya? Ternyata kami menemukan kesalahpahaman klasik dalam dunia manufaktur modern: Biaya produksi akan membengkak bila suatu perusahaan yang sudah full capacity menurunkan production batch size. Sementara WIP itu sendiri dapat diturunkan dengan menurunkan transfer batch size.
Penemuan ini tidak akan terjadi bila kita tidak menginvestasikan waktu untuk saling memahami posisi kita (sebagai key stakeholders), dan tidak terpaku pada hal teknis yang (sepertinya) kita sudah pahami di luar kepala.
2. Keberhasilan Sebuah Perubahan Membutuhkan Komitmen. Komitmen Membutuhkan Keyakinan. Keyakinan Membutuhkan Informasi dan Kemampuan
Sebuah perusahaan manufaktur kemasan di Indonesia merasakan pertumbuhan yang melambat. Market share tergerus oleh kompetitor lokal maupun international, dan khususnya dikarenakan ketidakmampuan mereka memberikan produk yang bermutu tinggi di price point yang menarik. Hal ini adalah pendorong utama diluncurkannya sebuah program transformasi organisasi yang bertujuan untuk pembentukan platform management yang solid, pembentukan mekanisme continuous improvement yang efektif dengan tema pengurangan biaya produksi dan pengembangan pasar, dan perbaikan komunikasi vertikal dan horizontal.
Tiga bulan pertama program berjalan, Board of Directors yang menjadi champion program ini mendapat serangan dan tekanan dari berbagai pihak. Sebagai satu contoh kasus saja, seluruh jajaran management kunci di direktorat pemasaran menolak perubahan struktur organisasi yang dilakukan dengan cara pasif agresif. Sikap pasif agresif ini berubah menjadi frontal agresif ketika seorang senior management di direktorat tersebut dicabut dari posisinya dan dipindahkan ke posisi lain – sebuah keputusan yang diambil untuk memberikan ‘angin segar’ bagi tim pemasaran yang ada, meningkatkan efisiensi aktifitas pemasaran, monitoring, dan pengambilan keputusan. Sekaligus untuk lebih menajamkan peranan beliau di bidang pengembangan pasar yang sangat diperlukan perusahaan.
Tanpa pemahaman yang jelas mengenai situasi sebenarnya, para Board of Directors ini pasti merasakan kekhawatiran bahwa perubahan struktur yang mereka lakukan salah (by the way, banyak inisiatif perubahan akhirnya tidak terjadi karena kekhawatiran seperti ini). Untungnya, mereka sudah dibekali persenjataan lengkap mengenai kondisi proses pemasaran saat ini, kondisi perilaku tim pemasaran saat ini berikut analisa permasalahannya, dan analisa mendalam terhadap pengembangan pasar.
Di sinilah kita berperan penting sebagai agen perubahan, dan perlu mahir dalam hal-hal berikut: Analisa yang mendalam, berbasis data, bebas asumsi, dan lengkap dengan cause-and-effect yang logis. Hal ini perlu dilakukan dan dibawa ke dalam bahasa senior management agar efektif dalam berkomunikasi pada level mereka, indirect coaching dalam hal non-teknis berhubungan dengan temuan kondisi di lapangan untuk meningkatkan kepercayaan mereka, serta konsisten dalam memposisikan diri pada posisi netral dan objektif sepanjang proses perubahan yang diinginkan. Ada tujuh point checklist yang dapat digunakan untuk melihat efektifitas dari aktifitas problem solving kita (Figure 1). Tujuh point ini sederhana dan ‘common sense’, tetapi let’s be honest, kita sering melupakan beberapa point tersebut, dan kita juga sering mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan point tersebut.
3. Keberhasilan Sebuah Perubahan Adalah Keberhasilan Organisasi, Bukan Individu atau Golongan. It is Not About You!
Ini adalah point paling menarik yang saya rasakan. Sebagai agen perubahan, semakin kita menjadi pusat perhatian dalam aktifitas problem solving dan perubahan, semakin pendek umur keberlangsungan aktifitas yang dilakukan itu.
Sebuah perusahaan telekomunikasi asing berinisiatif melakukan program Lean Enterprise untuk peningkatan efisiensi proses pelayanan pelanggan dan peningkatan kepuasan pelanggan mereka. Untuk hal ini, CEO menugaskan PMO (Project Management Office) untuk memimpin pelaksanaannya, di mana pemilik proses adalah Direktorat Pemasaran. PMO merekrut seorang Lean Expert di level Division Head dan memberikan beliau mandat penuh dalam implementasi inisiatif ini.
Sebagai seorang eksekutif baru di perusahaan itu, Sang Lean Expert merasa perlu membuktikan dirinya dibutuhkan, dan memonopoli seluruh pelaksanaan program Lean Enterprise di tempat itu (Sebenarnya istilah Lean Expert tidak sesuai untuk diberikan ke beliau, karena seorang Lean Expert seharusnya sudah memiliki pemahaman mengenai pentingnya stay out of the spotlight dan bekerja dengan memberikan arahan, dukungan, respek, dan kredit bagi para pemilik proses dalam implementasi). Dengan adanya mandat dari CEO dan PMO, Sang Lean Expert mampu ‘menggiring’ para pemilik proses untuk melakukan improvement dan program ini masih mendapatkan hasil yang signifikan. Akan tetapi, buy-in di level senior management maupun buy-in di level pelaksana dirasakan sangat rendah. Ilmu peningkatan efisiensi tidak berhasil ditangkap oleh mereka, dan yang paling fatal adalah filsafat Lean Enterprise yang seharusnya mengusung kebersamaan dan respek terhadap sesama tidak mereka rasakan. Sebaliknya, mereka menangkap Lean Enterprise haya sebagai pet project divisi PMO dan bila program ini berhasil, hanya PMO dan Sang Lean Expert lah yang akan diuntungkan.
Bandingkan dengan sebuah cost down program yang dilakukan sebuah perusahaan distribusi consumer goods nasional. Direktur Operasional dari perusahaan tersebut secara terus menerus memberikan ‘panggung’ bagi para pelaksana projek perbaikan dan bagi para Branch Manager dan Marketing Manager yang terlibat. Bila orang luar yang tidak terlibat diberi kesempatan untuk melihat ke dalam rapat status program, mereka tidak akan tahu bahwa orang yang paling berperan dalam pelaksanaan hal-hal penting untuk dilakukan adalah beliau. Akan tetapi, semua orang di perusahaan tersebut tahu bahwa beliau lah yang berjasa dalam keberhasilan program tersebut, dan mereka dengan sepenuh hati memahami apa yang dibutuhkan perusahaan dan apa yang dapat mereka lakukan bagi perusahaan untuk mencapainya. Dibutuhkan seorang pemimpin yang berjiwa melayani dan berkemampuan memahami orang lain untuk dapat sepenuhnya memahami point ini dan dapat mengaplikasikannya dengan tepat.
Ketiga point di atas tidak mungkin cukup untuk mencakup seluruh hal yang akan terjadi dalam perjalanan proses perubahan kita semua. Dan saya tidak mengecilkan pentingnya pemahaman teknis dalam program perbaikan atau problem solving. Akan tetapi, bila saya diberikan pilihan untuk bekerja sama dengan perusahaan yang memiliki tim yang sangat ahli dalam teknis, tetapi tidak memahami tiga point ini, atau bekerja sama dengan perusahaan yang sangat ahli dalam tiga point ini, tetapi memiliki keahlian teknis kurang, saya akan memilih tim kedua. Dengan pemahaman faktor non-teknis, pemahaman pentingnya membangun komitmen di level senior management, serta pemahaman pentingnya memberikan kesempatan bagi pihak lain untuk bersinar demi keberhasilan bersama, hampir 100% dari permasalahan yang ada akan mampu dihadapi bersama, dan di situlah titik tertinggi keberhasilan dan kepuasan kita sebagai seorang agen perubahan.
FIGURE 1
Tujuh Point Sederhana Problem Solving Tips:
- Do you know what your real objective is? Why are you solving this problem? Do you have a consensus of all key stakeholders on the purpose of the problem solving activities?
- Are you looking at the entire inputs and processes that generate the problem?
- Can you describe the current situation related to the problem in one paragraph + supporting data / less than 5 minutes?
- Are there any common beliefs that dictate the running policy of the processes?
- Are there any conflicting priorities that need to be look into / discussed further / facilitated into mutual understanding of needs?
- Has the problem been solved in another Department / Company / Industry?
- Have you communicated and updated the situation to key stakeholders and get their buy-ins throughout the activities?
Artikel ini ditulis oleh Dax Ramadani. Dax Ramadani adalah Associate Director di SSCX International. Memiliki gelar Master Black Belt dan telah berpengalaman lebih dari 20 tahun membantu perusahaan dalam implementasi Lean Six Sigma dan pengembangan problem solving, khususnya di industri jasa, keuangan dan FMCG.