Toyota Production System (TPS) telah dibangun diatas pengalaman continuous improvement selama puluhan tahun, dengan hasil yang telah terbukti. Sistem ini berdiri diatas dua pondasi, yaitu Jidoka (otomatisasi dengan sentuhan manusia) dan Just-In-Time (proses hanya berjalan/memproduksi barang yang dipesan, pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang tepat).

Berdasarkan filosofi dasar Jidoka dan Just-In-Time, TPS dapat dengan cepat dan efisien memproduksi kendaraan berkualitas tinggi, yang secara presisi memenuhi spesifikasi pelanggan. Ketika Jidoka memelihara proses dari output yang cacat, Just-In-Time akan memastikan akurasi waktu serta jumlah output (produk) yang dirilis ketika produk tersebut memang diinginkan pelanggan.

Pondasi #1: Jidoka

Mesin Tenun Toyoda dan Ide Awal Jidoka

Toyota Motor Corporation merupakan produsen mobil multinasional yang berkantor pusat di Toyota Aichi, Jepang. Pada 2010, perusahaan ini tercatat memiliki 300.734 karyawan di seluruh dunia. Korporasi didirikan oleh Kiichiro Toyoda pada 1937. Produk pertama dibuat tiga tahun sebelumnya, berupa sebuah mesin yang disebut Type A engine. Pada 1936, Toyota menciptakan mobil penumpang pertamanya, yaitu Toyota AA. Saat ini, Toyota Motor Corporation membawahi beberapa brand seperti Toyota, Scion, Lexus, Daihatsu dan Hino Motors.

Toyota memang dibangun diatas konsep Jidoka. Mungkin banyak yang tidak tahu bahwa Toyota berakar dari sebuah industri kecil yang memproduksi mesin tenun. Adalah Sakichi Toyoda, yang memulai bisnis mesin tenunnya pada 1896.

Sebelum mesin otomatis menjadi alat yang umum, mesin tenun back-strap, ground atau high-warp digunakan untuk menenun kain secara manual. Pada 1986, Sakichi Toyoda menemukan mesin tenun otomatis yang pertama di Jepang, yaitu “Toyota Power Loom”. Mesin tenun tersebut adalah yang pertama dilengkapi sistem penghentian otomatis (yang akan langsung berhenti menenun dengan sendirinya jika ada benang putus), perangkat penyedia benang, dan shuttle charger otomatis.

Perusahaan yang dirintisnya Toyoda kemudian berkembang dan menjadi manufaktur yang bernama Toyoda Automatic Loom Works pada 1926, dan memproduksi mesin tenun otomatis yang sangat terkenal, yaitu Type G yang paling mutakhir di jamannya. Type G yang diciptakan Toyoda pada 1924 merupakan sebuah alat tenun otomatis berkecepatan tinggi yang mampu mengganti shuttle tanpa mematikan mesin. Mesin ini juga akan berhenti secara otomatis jika ia mendeteksi adanya masalah, seperti benang yang putus misalnya.

Baca juga  Ini Biang Kerok Ekspor Industri Manufaktur Turun

Type G merupakan inkorporasi ide Jidoka yang ada di kepala Sakichi Toyoda. Menurutnya, untuk mencegah cacat produksi, operasional harus segera dihentikan jika terjadi sesuatu yang menyimpang sehingga lini dapat menyelamatkan output. Konsep inilah salah satu pondasi Lean Manufacturing atau TPS. Dalam konsep Lean, jika operator mendeteksi adanya kesalahan dalam operasional lini produksi, maka ia harus segera menghentikan jalannya lini untuk mencegah produk yang cacat dan waste.

Jidoka: Otomatisasi dengan Sentuhan Manusia

Jidoka adalah sebuah konsep yang bertujuan untuk membuat lini produksi menciptakan output berkualitas tinggi. Toyota menginterpretasikan “jido” (otomatisasi) sebagai mesin yang mampu “membuat keputusan” untuk bergerak atau menghentikan aktifitasnya. Jidoka sendiri artinya otomatisasi dengan sentuhan manusia, kebalikan dari mesin yang bergerak sepenuhnya dibawah supervisi operator. Namun kekurangan operator adalah mereka tidak selalu langsung menyadari jika ada kesalahan dalam proses yang berjalan. Ketika sebuah mesin bisa berhenti dengan sendirinya jika ada masalah, maka adanya produk yang cacat dapat dicegah. Dan dengan demikian, seorang operator dapat mengoperasikan beberapa mesin sekaligus, yang mendorong peningkatan produktifitas.

Ketika mesin berhenti saat ada masalah, seorang operator dapat memonitor secara visual dan mengontrol banyak mesin sekaligus secara efisien. Tool yang sangat penting dalam menjalankan konsep ini adalah “visual control” atau “visualisasi masalah”. Pabrik-pabrik Toyota menggunakan papan display yang disebut “andon”. Dengan melihat andon, operator dapat mengidentifikasi masalah dalam lini produksi segera.

Poin utama Jidoka (visualisasi masalah)

Jika salah satu bagian mesin mengalami malfungsi atau memiliki part yang cacat, maka keseluruhan mesin otomatis akan berhenti beroperasi untuk memperbaiki masalah tersebut. Motto Jidoka adalah “kualitas harus dibangun selama proses manufaktur berlangsung!”. Dengan Jidoka, maka:

  1. Mesin akan berhenti dengan aman setelah proses yang normal telah selesai. Mesin juga akan berhenti beroperasi secara otomatis jika terjadi masalah dengan kualitas atau salah satu bagian mesin untuk mencegah terciptanya output yang cacat. Sistem ini akan menjaga kualitas tetap memenuhi standar.
  2. Karena mesin otomatis berhenti ketika proses selesai atau masalah terjadi (dikomunikasikan melalui “andon” atau papan display), operator dapat meneruskan pekerjaan dengan mesin lainnya sambil mengidentifikasi penyebab masalah untuk mencegah masalah kembali terjadi. Operator dapat memegang lebih dari satu mesin, yang artinya peningkatan produktifitas dan kapasitas proses.
Baca juga  Mitsubishi Motor Corporation (MMC) menambah investasi senilai Rp5,7 triliun

Pondasi #2: Just-In-Time

Saat yang Tepat, Jumlah yang Tepat

Konsep Just-In-Time adalah “hanya membuat apa yang dibutuhkan, kapan dibutuhkan, dan dalam jumlah yang dibutuhkan”. Contohnya, untuk membuat sejumlah besar mobil akan memerlukan 30.000 part. Sebelumnya, harus dibuat perencanaan detail mengenai rencana produksi dengan procurement untuk part didalamnya. Dengan melakukan supply part “yang dibutuhkan, ketika dibutuhkan, dan dalam jumlah yang dibutuhkan” akan membantu menghilangkan waste, inkonsistensi, dan permintaan lain yang tidak beralasan dalam proses produksi. Hasilnya adalah peningkatan produktifitas.

Dalam Toyota Production System, terdapat metode kontrol produksi yang unik, yaitu “sistem kanban”. Sistem ini memainkan peran integral, dan kerap disebut “sistem supermarket” karena diadaptasi dari ide pelabelan di supermarket. Bisnis retail masal biasanya menggunakan kartu kontrol produk yang berisikan informasi produk (nama, kode, lokasi penyimpanan, dll). Kartu semacam inilah yang digunakan dalam sistem kanban. Di Toyota, ketika sebuah proses harus mengacu kepada proses sebelumnya untuk menentukan part, maka digunakanlah kanban untuk menginformasikan, part mana yang telah digunakan.

Mengapa sistem supermarket digunakan dalam konsep Just-In-Time? Supermarket menyimpan persediaan barang dalam jumlah yang dibutuhkan. Mereka juga memiliki item yang akan dijual dalam jangka waktu tertentu. Taiichi Ohno, yang mencetuskan ide Just-In-Time di Toyota, mengaplikasikan konsep ini. Ohno mengibaratkan supermarket sebagai “proses yang berjalan lebih dulu”, dan pelanggan supermarket sebagai “proses lanjutan”. Ketika proses lanjutan (pelanggan) ‘pergi’ kepada proses yang berjalan lebih dulu (supermarket) untuk mengambil bagian-bagian yang diperlukan dalam waktu dan dan jumlah yang diperlukan, maka perbaikan dalam sistem produksi yang tidak efisien akan dapat dilakukan. Proses sebelumnya tidak akan menyisakan part yang digunakan, karena proses tersebut ‘meneruskannya’ kepada proses selanjutnya.

Baca juga  PMI Manufaktur Naik, Industri Tekstil Masih Terseok

Poin Utama Just-In-Time (productivity improvement)

Just-In-Time adalah konsep yang memungkinkan produksi output yang berkualitas secara efisien dan bebas waste. Proses produksi tersebut, selain bebas waste, juga berjalan dengan konsisten dan memiliki kebutuhan pasokan yang jelas. Motto Just-In-Time adalah “buatlah hanya produk yang diminta, ketika diminta, dan dalam jumlah yang diminta”. Alur kerja utama dalam Just-In-Time adalah:

  1. Ketika pesanan diterima, instruksi untuk memulai produksi harus segera diberikan kepada lini produksi untuk barang yang diminta.
  2. Lini produksi harus disuplai dengan suku cadang yang dibutuhkan dalam jumlah yang dibutuhkan.
  3. Lini produksi harus menggantikan suku cadang yang digunakan dengan suku cadang (dalam jumlah yang sama) dari proses sebelumnya (proses produksi part).
  4. Proses sebelumnya harus disuplai dengan beberapa part dari semua tipe dan hanya memproduksi part dalam jumlah yang sama dengan yang diambil oleh operator yang menangani proses selanjutnya (produksi).

Dalam menjalankan bisnisnya, hingga kini, Toyota selalu bercermin kepada dua filosofi tersebut, mengembangkannya sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zaman, dan kini telah memetik hasil dari komitmen kepada kualitas dan produktifitas. Inilah nilai-nilai yang diajarkan dalam konsep Lean Manufacturing, yang telah menyerap perhatian segenap industri di dunia untuk ikut mengimplementasikannya.***