Seusai terpilih untuk memegang amanah sebagai menteri BUMN yang baru, Dahlan Iskan berjanji untuk mendiskon 50% rapat dan laporan, ke kementrian oleh direksi BUMN. “Percuma membuat laporan terlalu banyak tapi tidak pernah dibaca, rapat terlalu sering tetapi belum tentu ada hasilnya,” ujarnya.
Dahlan melihat rapat sebagai salah satu bentuk pemborosan (waste) yang tidak memberikan nilai tambah (non-value add). Menurut dia, realisasi hasil rapat itulah bekerja yang sesungguhnya (value add).
Sekarang, mari lihat organisasi kita! Seberapa sering anda menghadiri rapat? Pertanyaan kedua, Apakah anda merasakan manfaat dari menghadiri rapat tersebut? Berdasarkan survei yang dilakukan oleh SSCX, value add time (waktu yang bermanfaat) dalam sebuah rapat tidak lebih dari 5%, sementara sisanya adalah pemborosan. “5% dari total waktu rapat adalah diskusi dengan keputusan atau aksi lanjutan, sementara 67% waktu rapat dihabiskan untuk memperbaiki data, 22% diskusi tanpa keputusan, dan sisanya adalah aktivitas menunggu dan kegiatan tidak perlu lainnya” ungkap Suwandi, Consulting Director.
Jika dalam rapat, waktu yang bermanfaat hanya 5% saja, dalam skala yang lebih luas, apabila kita mampu memetakan dan mencatat seluruh aktivitas, berapa besar tingkat produktivitas kerja anda?
Aktivitas Bernilai tambah (value add) v.s Aktivitas tidak bernilai tambah (Non Value add)
Kegiatan atau aktivitas bisa disebut bernilai tambah jika memenuhi tiga kriteria di bawah ini:
1. Pelanggan bersedia untuk “membayar” aktivitas tersebut
2. Aktivitas yang dilakukan merubah bentuk dan/atau fungsi dari benda atau jasa yang diberikan
3. Aktivitas tersebut dilakukan secara benar sehingga tidak memerlukan pengerjaan ulang
Aktivitas yang dilakukan tidak memenuhi ketiga syarat di atas disebut non-value add activities. Pada prakteknya, non-value add activities dibagi dua, value enabler merujuk pada aktivitas yang dibutuhkan oleh produsen/ penyedia jasa dalam mendukung proses penciptaan value, dan waste merujuk pada aktivitas yang tidak dibutuhkan oleh pelanggan maupun produsen.
Pengeliminasian pemborosan adalah cara paling efektif untuk meningkatkan produktifitas dan profitabilitas dalam bisnis apapun. Pemborosan (waste) atau dalam bahasa Jepang dikenal dengan istilah Muda dirumuskan menjadi tujuh kategori oleh mantan Chief Engineer Toyota Taiichi Ohno, yaitu transportasi, Inventori, Gerakan, Menunggu, Overproduksi, Overproses, Cacat (defect).
Hal yang paling penting dalam perang melawan pemborosan adalah memahami dengan benar apa pemborosan itu, bagaimana menemukannya, dan keberanian untuk menghilangkannya.
Berikut ini adalah 7 pemborosan yang sering terjadi dalam proses:
Pemborosan Transportasi
Dua orang karyawan berkantor di kawasan kuningan Jakarta Selatan. Salah satunya setiap hari bangun jam lima pagi berangkat dari rumahnya di Bekasi, menembus kemacetan di jalan dan begitu sampai di kantor sering dimarahi atasan karena sering datang terlambat. Sementara rekannya, berangkat kerja jam 7 pagi, perjalanan ke kantor ditempuh dalam waktu 15 menit dengan berjalan kaki, dan dia tidak pernah dimarahi karena terlambat.
Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa seberapa jauh perjalanan (transportasi) yang anda tempuh, selama pelanggan (atasan) tidak melihat value-nya tercapai (masuk tepat waktu), maka pelanggan akan kecewa.
Kegiatan memindahkan material, barang, atau dokumen dari satu tempat ke tempat yang lain adalah aktivitas tidak bernilai tambah.
Kerugian dari pemborosan ini adalah penambahan peralatan material handling, staf yang mengoperasikan, biaya pelatihannya, sistem pencegahan kecelakaan, tambahan ruang untuk pergerakan barang dan lainnya. Transportasi juga menyebabkan kerusakana barang atau hilang akibat handling. Intinya, semakin panjang transportasi semakin banyak energi dan waktu yang terbuang tanpa menghasilkan kepuasan pelanggan.
Ada banyak penyebab pemborosan transportasi ini, namun yang utama dikarenakan overproduksi. Barang yang diproduksi lebih banyak dari permintaan akan meningkatkan inventori (persediaan barang), sehingga dibutuhkan alat transportasi untuk memindahkan persediaan tersebut dari satu gudang ke gudang lainnya.
Penyebab lainnya, disebabkan oleh buruknya tata letak tempat kerja yang tidak mempertimbangkan arus informasi atau barang. Organisasi yang diatur secara silo (tempat kerja dikelompokkan berdasarkan fungsi kerjanya) kerap mengalami pemborosan transportasi yang tinggi.
Kembali ke contoh kasus kementrian BUMN yang saat ini berinisiatif untuk memindahkan kantor PPA dari Sampoerna Strategic Square untuk menyatu dengan kantor Kementerian BUMN di Medan Merdeka Selatan. Kantor Merpati diminta dipindahkan dari Jalan Angkasa Kemayoran ke bandara. Inisiatif ini jelas menghemat waktu, menghemat bahan bakar, dan menghemat energi (kelelahan) yang harus dipakai untuk menempuh kemacetan di Jakarta. Efisiensi dan produktifitas di dapat sekaligus.
Contoh lain, sebuah Bank Swasta juga mengalami pemborosan ini. Pergerakan dokumen dari satu tempat ke tempat lain yang letaknya berjauhan. Persetujuan dokumen dilakukan oleh beberapa orang yang berkantor di gedung berbeda. Kurir harus menempuh jarak yang jauh turun dari lift dan berpindah gedung. Hal ini merugikan dari sisi sumber daya dan waktu yang terbuang. Kerugian yang lain, karena jarak tempuh yang jauh kurir berpikir “sekalian” sehingga dokumen akan ditumpuk dulu sampai cukup banyak baru di antarkan. Maka hal ini akan berdampak ke waktu tunggu yang meningkat. Dengan mengevaluasi kewenangan persetujuan dan pengaturan kembali tata letak kantor sesuai aliran proses) dan mengaplikasikan on-line approval, saat ini bank tersebut mampu memenuhi SLA persetujuan dokumen dan melakukan penghematan waktu dan sumber daya kurir.
Pemborosan Waktu Tunggu
Waiting atau delay adalah pemborosan yang terjadi jika suatu orang, sistem, material, maupun informasi menunggu suatu hal untuk diselesaikan sebelum masuk ke dalam proses.
Bayangkan jika waktu menunggu dipergunakan untuk sesuatu yang bernilai guna maka value dari perusahaan akan meningkat dan tidak terbuang percuma.
Proses yang tidak balance menyebabkan terjadinya delay, jika suatu proses menghabiskan waktu lebih banyak daripada proses lain maka operator maupun mesin akan menunggu sampai proses kembali berjalan. Proses yang kurang baik juga menyebabkan delay, hal ini menyebabkan terjadinya masalah kualitas dalam hasil proses sehingga proses berikutnya harus menunggu sampai masalah terselesaikan. Kemudian kurangnya informasi juga akan menyebabkan delay, operator akan menunggu informasi yang hilang maupun kurang jelas untuk melanjutkan tugasnya.
Setiap kali barang tidak bergerak atau sedang diproses, pemborosan waktu tunggu pasti terjadi. Organisasi yang masih menerapkan sistem batch dan antrian, 80% waktu siklusnya dihabiskan pada menunggu untuk diproses. Proses lead time suatu produk terikat pada menunggu untuk proses selanjutnya, hal ini disebabkan buruknya desain aliran material, produksi yang berjalan terlalu lama dan jarak antara pusat-pusat kerja yang terlalu jauh. Goldratt menyatakan bahwa satu jam yang hilang pada proses bottleneck berarti satu jam kehilangan output seluruh pabrik,dan itu tidak bisa dikembalikan
Bagaimana menghilangkannya?
Sebelum menghilangkan, dianjurkan untuk memetakan keseluruhan proses dengan Value Stream Mapping (VSM) atau Brown Paper Method. Dari VSM kita dapatkan waktu proses dan waktu antar proses. Waktu antar proses adalah potensi dimana waktu tunggu/ delay berada. Langkah selanjutnya adalah melakukan heijunka. Heijunka atau levelling artinya adalah meratakan tipe dan kuantitas produksi selama periode waktu yang ditetapkan, sehingga didapatkan produksi yang efisien untuk memenuhi permintaan pelanggan. Dari heijunka juga dapat menghindari batching yang besar dan meminimalkan persediaan, biaya modal, tenaga kerja, dan produksi lead time melalui aliran nilai keseluruhan
Pemborosan Inventori
Secara sederhana pemborosan inventori adalah kelebihan persediaan dari yang dibutuhkan dalam memenuhi permintaan pelanggan. Persediaan dalam bentuk material, barang jadi, dokumen, informasi, bahkan e-mail yang belum terbaca.
Inventori/ persediaan berhubungan langsung dengan cash flow (arus kas). Rosemary Peavler seorang pakar Cash Management mengunkapkan temuannya bahwa 60% kegagalan (bangkrutnya) sebuah bisnis disebabkan bukan karena gagal mencetak profit tetapi gagalnya mengatur arus kas, yang utamanya disumbang oleh kemampuan mengatur persediaan barang/ inventori yang buruk. Menganggap persediaan / inventori sebagai kekayaan atau aset, sehingga beranggapan bahwa menumpuk banyak persediaan bukanlah suatu kerugian adalah kesalahan pola pikir. Inventori sama dengan uang mati. Inventori ibarat lemak yang menghambat aliran kas, menjaga inventori pada level optimal akan membuat organisasi tetap berdenyut.
Banyak organisasi menganggap bahwa biaya akibat inventori sekedar “biaya bunga” dari material yang dibeli. Padahal, terdapat biaya pengelolaan persediaan, biaya kadarluarsa, biaya diskon (price erosion), dan opportunity cost karena menyimpan barang daripada menjualnya.
Dan biaya yang terbesar dari pemborosan inventori ini adalah menciptakan perasaan “aman” yang salah karena buffer yang tinggi. Pada saat buffer tinggi, semua permasalahan dalam organisasi tidak akan terlihat di permukaan.
Penyebab pemborosan inventori
- Alasan utama adalah karena perusahaan membuat ekstra part atau produk. Inventori dibuat untuk menutupi kualitas yang buruk atau kesalahan produksi
- Alasan kedua terjadinya inventori karena kinerja karyawan diukur dan diapresiasi berdasarkan banyaknya produk yang dihasilkan, tanpa melihat kebutuhan pelanggan
- Selanjutnya, jadwal produksi yang tidak seimbang atau sering berganti sehingga menyulitkan dalam hal menjaga konsistensi level inventori.
- Alasan keempat karena buruknya forecasting atau memang selama perusahaan menerapkan sistem forecast (push system) kemungkinan salah prediksi yang menyebabkan inventori tetap ada.
Bagaimana menghilangkannya?
Ada beberapa metode Lean yang kita bisa pakai untuk menurunkan pemborosan inventori, yaitu:
- SMED (Single Minute Exchange Dies) atau quick changeover. Premis dari diterapkannya metode ini adalah melakukan kegiatan set-up sebanyak mungkin ketika mesin masih berjalan.
- One piece flow adalah tool Lean lainnya yang dapat menurunkan level inventori. Konsep “buat satu – pindahkan satu” membuat pekerja hanya membuat produk/ informasi apabila diinginkan oleh proses selanjutnya. Dengan melakukan one piece flow pekerjaan akan seimbang terhadap takt time dan operator paham tentang apa yang terjadi dalam proses, baik yang upstream maupun downstream.
- Kartu Kanban adalah tool lain yang powerful untuk menurunkan banyaknya barang/ material di dalam proses. Kartu kanban memberikan serangkaian sinyal untuk proses agar bergerak sinkron.
Pemborosan Gerakan
Ronald, seorang manajer operasi di sebuah perusahaan perkebunan di Riau mendapat tugas untuk mengatasi masalah rendahnya produktivitas pekerja tanam dan tingginya absensi karena sakit. Setelah melakukan Gemba (turun ke lapangan), Ronald mendapati bahwa banyaknya in-efisiensi gerakan oleh pekerja ketika melakukan aktivitas penanaman. Yang pertama, pekerja harus membungkuk untuk melobangi tanah – berdiri untuk mengambil pupuk dan bibit – membungkuk lagi untuk melakukan penanaman – dan berdiri lagi untuk pindah ke titik tanam berikutnya. Kegiatan bungkuk – berdiri – bungkuk – berdiri bukan saja tidak produktif/ inefisien namun berefek trauma pada pinggul pekerja yang memicu tingginya tingkat absensi.
Akhirnya Ronald bersama tim, menciptakan alat yang memungkinan pekerja melakukan penanaman dengan cara berdiri. Metode baru itu berhasil mengurangi waktu proses sekitar satu menit per pohon. Bayangkan berapa penghematan yang berhasil di dapat jika satu hektarnya saja ada 1,666 pohon yang harus ditanam?
Segala pergerakan manusia yang tidak memberikan nilai tambah terhadap pelanggan adalah pemborosan gerakan. Berjalan, menjangkau, mencari, mengangkat, memilih, mengatur, dab berbalik adalah potensi penyebab pemborosan gerakan.
Bagaimana mengatasinya:
• Manajemen area kerja atau 5R (atau 5S dalam konsep asli Lean Enterprise) untuk menurunkan kegiatan mencari dan mengatur barang. 5R terdiri dari:
o Ringkas : Pastikan hanya barang yang dibutuhkan saja yang ada di area kerja
o Rapi : Semua barang ada tempatnya, dan semua tempat ada barangnya
o Resik : Bersihkan barang sambil inspeksi
o Rawat : Buat sistem untuk menjaga 3R awal
o Rajin : Disiplin dalam melestarikan kondisi dan sistem yang sudah dibuat
• Visual Control: Tanda/ signal sederhana yang menyediakan informasi tentang keadaan yang berlaku saat ini dengan cepat, hal ini mampu menurunkan pemborosan gerakan inspeksi dan memilih tindakan. Tanda bisa berupa: Kode warna, lampu indikator, gambar, grafik, dan sebagainya.
• Ergonomi. Human-Machine interface yang buruk mengakibatkan pemborosan gerakan. Buat sistem kerja/ mesin yang sesuai dengan pekerja (fits to the man) bukan sebaliknya (fits to machine).
• Jidoka. Berasal dari dua kata automation dan autonomous, yang artinya pengambilalihan kerja manusia oleh mesin sehingga mampu mengatasi beberapa kelemahan yang dikarenakan pekerjaan yang dilakukan manusia. seperti: pekerjaan untuk memasukkan botol ke dalam kotak, mengisi folding box ke tempat loading, menutup tutup botol, mengetuk bagian atas supaya rapat, dan lainnya. Pekerjaan ini terlihat mudah dan sederhana, tapi karena dilakukan terus-menerus dan berulang maka akan membuat manusia menjadi bosan dan menjadi rentan terhadap kesalahan dan pemborosan gerakan! Kesalahan ini bisa berdampak terhadap kualitas produk atau berdampak ke safety dari operatornya. Automation tampaknya akan mengatasi kelemahan pekerjaan yang dilakukan oleh manusia, karena manusia sangat rentan terhadap kesalahan untuk pekerjaan yang mudah, berulang, dan tidak membutuhkan kreativitas. Ada ungkapan di Lean yaitu “don’t ask human to do machine’s job” yaitu jangan meminta orang untuk mengerjakan pekerjaan yang seharusnya bisa dilakukan mesin
Pemborosan Overproduksi
Tentu sebagian dari Anda telah mengetahui bahwa over-production termasuk dalam salah satu jenis waste menurut lean manufacturing. Mungkin Anda bertanya-tanya mengapa over-production termasuk waste, bahkan masih ada orang yang beranggapan bahwa over-production perlu dilakukan sebagai tindakan antisipasi jika terjadi suatu hal yang mendadak. Paradigma inilah yang perlu diubah, perlu diketahui bahwa over-production adalah jenis waste terburuk.
Konsep Lean manufacturing menganjurkan untuk menerapkan zero orders = zero production. Berikut salah satu contoh kasusnya. Suatu ketika sebuah plant telah menyelesaikan order harian dan tersisa satu jam kosong sebelum waktu kerja berakhir. Seorang supervisor menginginkan tidak ada waktu yang terbuang sehingga ia memerintahkan pekerjanya untuk membuat produk X. Kemudian waktu berakhir dan shift berikutnya tiba. Sayangnya shift berikutnya harus mengerjakan order Y dan mereka mengalami kesulitan dengan memakai tools bekas pengerjaan produk X. Hal ini saja sudah memberikan waste berupa delay bagi shift baru untuk mengadaptasikan diri. Belum lagi jika ternyata tidak ada order yang memesan produk X lalu kemanakah produk berakhir? Maka dari itu, jika tidak ada order, tutup saja plant!
Aspek yang paling merugikan dari over-production adalah obsolescene atau produk yang sudah usang atau tidak laku lagi. Sebagai contoh jika Anda misalnya menjadi staff marketing di Microsoft tentu Anda tidak akan sesegera itu mengeluarkan produk Windows 8 jika masih banyak produk Windows 7 yang belum terjual. Akan menjadi boomerang bagi Anda jika ternyata Windows 8 jauh lebih baik sehingga produk Windows 7 lama Anda akan sia-sia. Walaupun Anda menginginkan ketersediaan dari Windows 7 untuk beberapa pelanggan, tetap saja Anda harus memilih jumlah yang tepat sebelum terlambat.
Lalu arah mana yang dituju oleh semua hasil over-production tadi? Jawabannya adalah inventori. Sebuah waste lagi? Benar sekali. Semakin terlihat bahaya dari jenis waste over-production yang dapat memicu timbulnya waste jenis lain. Keberadaan inventori akan meningkatkan penanganan material dan pekerjaan tambahan. Diperlukan equipment tambahan untuk menggerakan material ini. Teknik FIFO (First In First Out) akan sulit dilakukan dengan adanya inventori tambahan, plus penurunan kualitas karena inventori disimpan terlalu lama.
Bagaimana mengatasinya?
Sistem Tarik adalah metode yang fleksibel dalam mengendalikan / menyeimbangkan aliran sumber daya, meminimalkan penanganan, penyimpanan, pengerjaan ulang, dan kelebihan persediaan (work-in-proses dan selesai). Pull System meletakkan tombol start produksi pada pelanggan.
Alat yang dipakai untuk implementasi Pull System adalah kanban (tanda kapan part dibutuhkan), Supermarket, SMED, One Turn Method, dan sebagainya.
Pemborosan Proses
Pemborosan proses atau biasa dikenal overproses. Pemborosan tipe ini paling sulit dipahami dan ditemukan karena umumnya penyebab utamanya adalah ketidak tahuan akan spesifikasi pelanggan. Banyak organisasi yang membeli alat yang mahal dan lebih komplek, melatih orang, dan menciptakan sistem inspeksi yang berlapis untuk mengejar tingkat kepresisian tinggi, yang kenyataannya pelanggan mempunyai toleransi yang lebih longgar. Istilah yang tepat untuk pemborosan ini adalah “Membunuh nyamuk dengan Basoka”, mungkin efektif tapi tidak efisien.
Sebuah kantor pelayanan publik di Serpong berhasil menurunkan waktu proses pelayanan dari satu bulan menjadi satu hari kerja dengan memangkas jalur persetujuan dokumen. Persetujuan dokumen hanya dilakukan oleh orang yang terkait langsung dengan isi dokumen, sehingga proses review menjadi efektif dan dapat dilakukan dalam waktu yang singkat. Contoh lain, sebuah bank BUMN mengeluarkan fitur Favorit-ku, yang memungkinkan pelanggannya melakukan transaksi rutinnya (seperti membayar tagihan kartu kredit, tagihan listrik, dan lainnya) hanya dengan satu klik. Fitur ini menghilangkan proses pengetikkan nomor kartu kredit atau nomor pelanggan yang merupakan kegiatan rutin tiap bulannya.
Mesin yang memproduksi lebih cepat atau lebih lambat dari permintaan pelanggan, peralatan yang membutuhkan energi berlebih, proses review berlapis, pekerjaan redundant adalah contoh-contoh pemborosan tipe ini.
Bagaimana menghilangkannya?
Sebelum menghilangkan sebuah atau beberapa proses, dianjurkan menganalisa proses dengan menghitung Process Cycle Efficiency (PCE). Metode ini memudahkan untuk menentukan apakah proses yang dilakukan bernilai tambah atau tidak. Langkah-langkahnya sebagai berikut:
1. Memetakan proses
2. Mengidentifikasi langkah-langkah value-add, non value-add, dan langkah penting namun tergolong non value-add
3. Menstratakan peta sesuai point nomor 2
4. Tambahkan dimensi waktu pada langkah-langkah proses
Setelah langkah-langkah tersebut selesai, lalu hitung PCE-nya.
PCE = (value-add time / cycle time)
Berikut contoh perhitungan PCE pada suatu perusahaan manufaktur :
Proses di atas memiliki cycle time 860 detik dan value-add time 182 detik. Maka PCE dari proses keseluruhan bernilai 21%. Dengan kata lain hanya 21% dari keseluruhan proses yang memberikan value-add kepada pelanggan.
Dengan penghitungan data PCE, sebuah perusahaan dapat meningkatkan persentase value-add mereka kepada pelanggan dengan mengeliminasi atau mereduksi pemborosan proses.
Pemborosan Cacat
Pemborosan tipe ini umumnya karena produk atau jasa yang diberikan berada di bawah level yang diharapkan pelanggan. Biaya yang terjadi karena buruknya kualitas (produk atau pelayanan) tercermin dalam biaya garansi, kapasitas produksi yang hilang, biaya pengerjaan ulang, biaya perbaikan di lapangan, dan berujung pada hilangnya kepercayaan pelanggan.
Apa yang menyebabkan cacat?
- Ketidakmampuan proses dalam mendeteksi permasalahan lebih awal. Kemampuan deteksi ini penting karena biaya kualitas akan semakin bertambah jika potensi cacat semakin lama di dalam proses.
- Rendahnya kualitas bahan baku dari supplier. Banyak perusahaan yang menginginkan penghematan sesaat dengan menggunakan bahan baku lebih murah, namun pada kenyataannya mengeluarkan ekstra biaya untuk pengerjaan ulang karena buruknya kualitas bahan baku tersebut.
- Ketidak pahaman operator dalam menjalankan kerja, hal ini disebabkan oleh ketidakcukupan jam pelatihan atau instruksi kerja yang tidak mudah dipahami.
Bagaimana menghilangkannya?
- Teknik pertama adalah setiap karyawan memahami prinsip “stop the line”, artinya karyawan dipercaya dan diber wewenang untuk menghentikan produksi kapanpun dan dimanapun jika indikasi terjadinya cacat ditemukan. Mesin/ produksi akan jalan kembali setelah penyebab permasalahan ditemukan dan diselesaikan. Metode ini sering disebut juga Andon, sebuah tombol atau kabel yang ketika dipencet/ ditarik akan menghentikan seluruh lajur produksi
- Teknik selanjutnya bernama pokayoke atau mistake proofing. Premis dasar dari teknik ini adalah membuat cacat mustahil terjadi.
- RCFA atau root cause factor analysis dibuat untuk memahami penyebab utama permasalahan/ cacat terjadi, dari sana akan dibuat tindakan mitigasi atau proyek perbaikan untuk menghilangkannya. Tools yang termasuk dalam RCFA adalah FMEA, 5Why, Fishbone Diagram dan lainnya.
- Jidoka atau pengambilalihan kerja manusia oleh mesin sehingga mampu mengatasi beberapa kelemahan yang dikarenakan pekerjaan yang dilakukan manusia. seperti: pekerjaan untuk memasukkan botol ke dalam kotak, mengisi folding box ke tempat loading, menutup tutup botol, mengetuk bagian atas supaya rapat, dan lainnya. Pekerjaan ini terlihat mudah dan sederhana, tapi karena dilakukan terus-menerus dan berulang maka akan membuat manusia menjadi bosan dan menjadi rentan terhadap kesalahan.
- Terakhir, adalah membekali karywan/ operator dengan instruksi kerja yang jelas dan mudah dipahami, sehingga mereka dapat melakukan kerja dengan baik.