Zero Defects, istilah yang pertama kali dikenalkan oleh Philip B. Crosby melalui bukunya “Absolutes of Quality Management” kini menjadi konsep populer dalam dunia manajemen kualitas. Konsep ini juga diadopsi menjadi salah satu teori utama dalam Six Sigma. Dalam teori lama, hampir semua orang berpikir kualitas yang baik dapat dicapai melalui pemeriksaan yang ketat, dilakukan inspeksi untuk memisahkan barang layak dan tidak layak.
Crosby menemukan kelemahan pemikiran tersebut, menurutnya kesempurnaan hasil produksi tidak bisa dicapai hanya dengan pemeriksaan, tapi harus ada pencegahan. Jika dalam proses ditemukan potensi cacat atau kualitas hasil yang buruk, maka harus ada tindakan pencegahan untuk menjaga kualitas hasil tetap bagus. Perusahaan harus mengeliminasi kerusakan (cacat) dalam proses produksi industri untuk mencapai zero defects, dan disinal proses harus mendapat sorotan lebih.
Meskipun terlihat sangat sempurna, konsep ini juga mendapat kritik dari sejumlah orang yang berpendapat bahwa keadaan dengan cacat nol tidak mungkin ada. Sebab itu beberapa orang ingin menunjukkan bahwa cacat nol dalam manajemen kualitas tidak berarti kesempurnaan, tetapi lebih mengacu pada keadaan dimana limbah dihilangkan dan cacat berkurang. Atau berarti memastikan standar kualitas tertinggi di dalam proyek.
Apa yang dimaksud dengan Zero Defects?
Dari sudut pandang literatur, sangat jelas bahwa mencapai zero defects secara teknis tidak mungkin dalam proyek manufaktur yang besar atau rumit. Menurut standar Six Sigma, definisi zero defects didefinisikan sebagai 3,4 DPMO, artinya adalah 3.4 cacat dalam 1 (satu) juta kesempatan. Kepanjangan dari DPMO adalah Defects Per Million Opportunities yaitu Cacat per Satu Juta Kesempatan. Konsep zero defects harus dilihat secara pragmatis sebagai pencarian kesempurnaan untuk meningkatkan kualitas dalam pengembangan atau proses manufaktur. Kesempurnaan sejati mungkin tidak dapat dicapai tetapi setidaknya akan mendorong kualitas dan peningkatan dengan metrik yang ketat.
Jadi teori zero defects berfungsi untuk memastikan bahwa tidak ada pemborosan yang ada dalam sebuah proyek. Limbah mengacu pada semua proses, tools, karyawan, dan sebagainya yang tidak produktif. Apa pun yang tidak produktif dan tidak menambah nilai proyek harus dihilangkan, yang disebut proses pembuangan limbah. Menghilangkan limbah akan menciptakan proses perbaikan dan dengan demikian biaya pun akan menurun. Secara umum teori zero defects adalah konsep “melakukannya dengan benar pada kali pertama” untuk menghindari perbaikan dengan biaya mahal dan memakan waktu di kemudian hari dalam proses manajemen proyek.
4 Prinsip Utama
Teori zero defects memiliki empat prinsip dasar ketika diimplementasikan dalam proyek, yang meliputi :
- Kualitas adalah jaminan terhadap permintaan, artinya zero defects dalam suatu proyek harus berarti harus memenuhi keselarasan antara produk dengan permintaan pasar.
- Kualitas harus diintegrasikan ke dalam proses dari awal, ini lebih baik dibandingkan harus memecahkan masalah pada tahap selanjutnya.
- Mutu kualitas tidak bisa hanya mendekati tapi harus zero defects. Kinerja harus diukur berdasarkan standar yang dipakai, sedekat mungkin dengan kesempurnaan.
- Kualitas diukur berdasarkan harga. Kita perlu mengukur limbah, produksi dan pendapatan dalam hal dampak anggaran. Setiap cacat memiliki biaya, langkah-langkah perbaikannya pun jelas membutuhkan biaya. Oleh karena itu, setiap langkah yang dilakukan untuk memperbaiki cacat tersebut, harus dipertimbangkan dengan tetap menjaga kualitas.
Selain zero defect juga ada konsep yang bernama zero breakdown dan zero accident. Apa itu? Tunggu artikel kami selanjutnya ya!